periskop.id - Air hujan menjadi bentuk air paling murni yang ada di bumi jika dibandingkan dengan air minum. Meski sering dianggap murni, air hujan ternyata mengandung berbagai zat pencemaran udara dan membahayakan kesehatan manusia. 

Penelitian yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan air hujan khususnya di daerah Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya yang berasal dari aktivitas manusia. Temuan tersebut mengungkap partikel plastik tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer. 

Sebagai informasi, mikroplastik merupakan potongan plastik kecil berukuran kurang dari lima milimeter. Partikel ini berpotensi mengancam kelestarian laut. Mikroplastik biasanya berasal dari berbagai sumber, seperti potongan plastik besar yang terurai menjadi potongan kecil. 

Terdapat juga mikroplastik buatan, yaitu butiran plastik halus terbuat dari bahan polietilena yang biasa digunakan dalam produk perawatan tubuh, seperti sabun wajah dan pasta gigi. Biasanya, partikel kecil ini dapat lolos dari sistem penyaringan air dan akhirnya masuk ke laut dan danau, sehingga dapat membahayakan makhluk hidup di dalamnya.

Muhammad Reza Cordova, Peneliti BRIN, mengatakan sejak 2022 penemuan mikroplastik di setiap sampel air hujan di Jakarta berasal dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.

“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” ucap Reza seperti dikutip dari laman resmi BRIN, Kamis (23/10).

Reza menambahkan, mikroplastik yang ditemukan biasanya berupa serat sintetis dan potongan plastik kecil seperti poliester, nilon, polietilena, polipropilena, dan polibutadiena dari ban kendaraan. 

Umumnya, para peneliti menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi setiap hari pada sampel air hujan di daerah pesisir Jakarta.

Fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat muncul ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan kembali turun melalui hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.

Biasanya siklus plastik tidak akan berhenti di laut, tetapi akan naik ke langit, berkeliling bersama angin dan turun lagi ke bumi lewat hujan. 

Meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, tetapi terdapat kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan. 

Plastik mengandung bahan adiktif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Partikel ini juga bisa mengikat polutan saat di udara lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.

Di sisi lain, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Misalnya, dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan.

Dengan demikian, gaya hidup yang modern menjadi salah satu faktor utama pemicu terjadinya peningkatan mikroplastik di atmosfer.