Periskop.id - Sejak diresmikan sebagai moda transportasi komersial pada Oktober 2023, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) memang berhasil mencuri perhatian dan memenuhi ekspektasi publik dalam hal kecepatan dan pelayanan. Dalam dua bulan pertama operasional hingga Desember 2023, Whoosh telah melayani lebih dari satu juta penumpang. Pada tahun 2024, angka penumpang melonjak hingga 6,06 juta orang dan terus meningkat di semester I-2025 dengan hampir tiga juta penumpang terangkut. Angka-angka ini menunjukkan antusiasme pasar yang luar biasa.

Namun, di balik riuhnya antusiasme penumpang, tersembunyi sebuah masalah finansial yang kian mengkhawatirkan, yaitu kerugian operasional yang kronis dan membengkak.

Berdasarkan laporan kerugian PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), anak usaha KAI yang mengelola Whoosh sekaligus pemegang saham mayoritas PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), tren kerugian menunjukkan peningkatan tajam dari tahun ke tahun: dari Rp0,51 triliun pada 2022, melompat ke Rp0,97 triliun pada 2023, dan mencapai angka mengejutkan Rp4,19 triliun pada 2024. Bahkan di Semester I-2025 saja, kerugian sudah menyentuh Rp1,62 triliun.

Beban Mati di Pundak Induk Perusahaan

Dampak kerugian ini semakin terasa ketika dibandingkan dengan laba yang diperoleh oleh PT KAI sebagai induk perusahaan. Rasio kerugian Whoosh terhadap laba KAI terus memburuk dan menunjukkan beban yang tak tertahankan. Adapun rinciannya, yakni:

TahunLaba PT KAI (Rp Triliun)Rasio Kerugian Whoosh terhadap Laba PT KAI
20221,6930,18%
20231,8751,87%
20242,21189,59%
Semester I-20251,18137,29%

Pada 2024, kerugian Whoosh bahkan nyaris dua kali lipat melampaui seluruh laba yang dikantongi KAI. Artinya, Whoosh telah menjadi beban mati yang signifikan, menggerus kemampuan finansial induknya.

Dengan asumsi harga tiket Whoosh dipatok Rp300 ribu per orang, estimasi pendapatan dari penjualan tiket pada 2024 hanya sekitar Rp1,82 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menutupi kerugian Rp4,19 triliun di tahun yang sama.

Situasi makin getir mengingat beban bunga utang pembangunan Whoosh diperkirakan mencapai Rp2 triliun sampai Rp3,5 triliun per tahun. Dengan pendapatan tiket yang bahkan tidak mencapai Rp2 triliun per tahun, penjualan tiket sama sekali belum mampu membayar bunga utang, apalagi pokok utang dan biaya operasional. Whoosh jelas terjebak dalam lingkaran utang.

Model Bisnis Masa Depan: Belajar dari Raksasa Asia

Maka, sudah saatnya PT KCIC dan KAI berhenti berharap pada pendapatan tiket (fare revenue) sebagai penyelamat. Agar Whoosh tidak menjadi proyek yang boncos secara permanen, diperlukan lompatan strategis menuju model bisnis baru: mengoptimalkan non-fare revenue, yakni pendapatan dari sumber selain penjualan tiket, seperti iklan, penyewaan ruang komersial, dan pengembangan properti di sekitar stasiun.

Kisah sukses ini bukan isapan jempol. MTR Hong Kong, raksasa kereta cepat di sana, membukukan laba setahun penuh sebesar HK$15,77 miliar pada 2024. Yang menakjubkan, 54,29% dari laba tersebut disumbangkan oleh pengembangan properti lokal. Laba mereka dari pengembangan properti sebesar HK$10,27 miliar bahkan melampaui laba dari bisnis berulang mereka yang sebesar HK$7,21 miliar.

Fenomena serupa terjadi pada JR East Jepang, perusahaan kereta api penumpang terbesar. Laporan keuangan menunjukkan bahwa pada periode April 2024 hingga Maret 2025, sebesar 53,27% dari laba bersih operasional mereka disumbangkan oleh lini bisnis nontransportasi, seperti retail, jasa, real estate, dan hotel.

Model Rail-plus-Property telah terbukti menjadi resep ajaib bagi keberlanjutan kereta cepat. Proyek Whoosh memiliki keuntungan berupa stasiun yang menjadi hub baru pertumbuhan ekonomi, seperti Stasiun Halim, Padalarang, dan Tegalluar. Kawasan-kawasan ini adalah “lahan emas” yang harus segera dioptimalkan menjadi properti komersial, mal, atau perkantoran.

Jika Whoosh tidak segera meniru jurus sakti para raksasa Asia ini, alih-alih menjadi ikon kemajuan, Whoosh hanya akan menjadi beban utang yang kian berat, mengancam keuangan PT KAI dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa depan. Perlu keberanian eksekusi untuk mengubah railway company menjadi real estate company yang bergerak di bidang perkeretaapian.