periskop.id - Nilai tukar rupiah ditutup melemah pada perdagangan Kamis (13/11). Rupiah turun 11 poin ke posisi Rp16.728 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat melemah hingga 30 poin. Direktur PT Traze Andalan Futures, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan pelemahan rupiah terjadi seiring dengan penguatan indeks dolar AS yang terus menanjak hingga perdagangan Kamis sore.
“Indeks dolar AS menguat pada Kamis karena investor menilai perkembangan di Amerika Serikat dan menanti arah kebijakan moneter The Fed yang masih belum solid,” ujar Ibrahim, Kamis (13/11).
Dari sisi eksternal, Ibrahim menuturkan bahwa sentimen positif bagi dolar datang dari pengesahan RUU pendanaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS pada Rabu malam waktu setempat. RUU tersebut bertujuan membuka pendanaan dan mengakhiri penutupan pemerintah (government shutdown) terlama yang pernah terjadi di AS.
“Pengesahan RUU ini membantu menjernihkan ketidakpastian atas permintaan bahan bakar AS, sebab penutupan pemerintahan sempat memicu ribuan pembatalan penerbangan dan menahan aktivitas ekonomi,” jelasnya.
Dengan berakhirnya penutupan, data ekonomi resmi AS yang sebelumnya tertunda dapat kembali dirilis. Sehingga pasar memiliki panduan baru untuk membaca arah ekonomi negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia itu.
Ibrahim menambahkan, dinamika kebijakan moneter juga menjadi faktor utama yang memengaruhi pergerakan rupiah. Sejumlah pejabat The Fed masih berbeda pandangan terkait waktu dan urgensi penurunan suku bunga.
Gubernur The Fed Stephen Miran menilai kebijakan moneter AS saat ini terlalu ketat dan berharap inflasi perumahan yang mulai mereda bisa menurunkan tekanan harga. Namun, Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic masih memilih menahan suku bunga hingga ada bukti yang lebih jelas bahwa inflasi benar-benar kembali ke target 2%.
Selain itu, ketegangan geopolitik di Eropa turut memperkuat sentimen terhadap aset-aset safe haven, termasuk dolar AS. Moskow menyatakan kesiapan menghadapi potensi konfrontasi langsung dengan NATO di tengah meningkatnya militerisasi kawasan.
“Kondisi geopolitik seperti ini biasanya meningkatkan permintaan terhadap dolar AS dan menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah,” ujar Ibrahim.
Sementara dari dalam negeri, pasar turut mencermati target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang dipatok pemerintah sebesar 2,68% dari produk domestik bruto (PDB), atau di atas batas aman yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029.
“Kebijakan fiskal yang proaktif dan defisit yang lebih lebar memang bertujuan mendorong transformasi ekonomi, namun pasar tetap mengawasi risiko terhadap stabilitas nilai tukar,” kata Ibrahim.
Dengan kombinasi faktor eksternal dan internal tersebut, Ibrahim memperkirakan rupiah masih akan cenderung bergerak terbatas dan rentan terhadap tekanan global dalam jangka pendek.
“Untuk perdagangan Jumat (14/11), rupiah berpotensi fluktuatif namun masih berisiko ditutup melemah di rentang Rp16.730 hingga Rp16.770 per dolar AS,” tutup Ibrahim.
Tinggalkan Komentar
Komentar