periskop.id - Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Chrisna Satriagasa menyoroti tentang perdebatan sosok yang paling bertanggung jawab atas bencana Sumatra, apakah kerusakan ekologis atau cuaca ekstrem.

Satriagasa menegaskan, pertanyaan “siapa yang paling bersalah” justru tidak lagi relevan dalam konteks sekarang. Ia menyebut, saat ini, semua pihak bertanggung jawab terhadap bencana Sumatra, baik pemerintah maupun industri/korporasi. 

“Kalau ditanya pihak mana yang paling bertanggung jawab tentu susah dijawab. Ini semua terjadi karena akumulasi aktivitas manusia yang tidak berwawasan lingkungan,” kata Satriagasa, kepada Periskop, Sabtu (6/12).

Satriagasa menyampaikan, kerusakan lanskap di Sumatra bukan hanya produk kelalaian satu aktor. Kerusakan terjadi akibat gabungan ekspansi industri, lemahnya pengawasan pemerintah, sampai perilaku masyarakat yang ikut mendorong degradasi.

“Baik pemerintah, pengusaha tambang, pengusaha perkebunan sawit, pengusaha hutan tanaman industri, pengusaha sektor pertanian, sampai masyarakat semuanya memiliki kontribusi dalam degradasi lingkungan yang terjadi,” ungkap Satriagasa.

Satriagasa menilai, perdebatan tentang siapa yang salah justru membuat upaya pemulihan menjadi lambat. Menurutnya, hal paling mendesak saat ini adalah tindakan korektif yang nyata dari semua pihak sehingga tidak terulang bencana Sumatra, termasuk untuk daerah lain.

“Yang paling penting bukan mencari siapa yang salah, tetapi setiap stakeholder harus fokus melakukan corrective action agar di masa yang akan datang tidak terjadi degradasi lingkungan yang serupa seperti yang terjadi di masa lalu dan saat ini,” tegas dia.

Satriagasa menekankan, tanpa langkah pembenahan kolektif dari seluruh pemangku kepentingan, Sumatra akan semakin rentan menghadapi bencana ekologis yang berulang, mulai dari banjir hingga longsor berskala besar. Bahkan, bencana Sumatra juga dapat terjadi di daerah lain sehingga seluruh pihak harus lebih peduli dan memperketat perlindungan terhadap lingkungan hutan.