Periskop.id - AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Jawa Timur menilai, kehadiran Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) No 14 tahun 2024, akan menjadi masalah untuk ekosistem olahraga nasional. Ada sejumlah poin yang disampaikan LaNyalla mengenai hal tersebut. Di antaranya, mengenai legalitas inkonsistensi hierarki peraturan.

"​Permenpora ini dinilai bermasalah dari sisi hierarki hukum. Karena, Peraturan Menteri seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan," tuturnya. 

Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PSSI ini menjelaskan, UU tersebut secara eksplisit menjamin independensi organisasi olahraga. "Namun, Permenpora justru memasukkan ketentuan yang secara terang-terangan membatasi independensi tersebut, seperti kewajiban mendapatkan rekomendasi dari Kemenpora untuk menyelenggarakan musyawarah atau kongres organisasi," tukasnya.

Implikasinya, menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi memicu gugatan hukum di PTUN. "Organisasi olahraga dapat berargumen bahwa Permenpora ini melampaui wewenang yang diberikan oleh UU, sehingga cacat hukum dan bisa dibatalkan," terangnya.

Tidak itu saja, LaNyalla menyebut Intervensi pemerintah yang berlebihan dapat menyebabkan sanksi dari federasi olahraga internasional. "Dalam Permenpora, ada indikasi pelanggaran prinsip otonomi dan independensi olahraga. ​Organisasi olahraga seperti KONI dan cabang olahraga (cabor) adalah entitas otonom yang diakui secara internasional," tuturnya.

Ia menambahkan, prinsip ini tertuang dalam Olympic Charter, yang menjadi pedoman utama bagi gerakan Olimpiade di seluruh dunia. "Sedangkan Permenpora No 14 tahun 2024, dengan memberlakukan kontrol ketat terhadap tata kelola internal, dianggap melanggar prinsip tersebut," ungkap dewan penyantun KONI Jawa Timur itu.

LaNyalla menambahkan, federasi olahraga internasional, seperti IOC (Komite Olimpiade Internasional), dapat memberikan sanksi pembekuan kepada NOC (National Olympic Committee) suatu negara jika terjadi intervensi pemerintah yang melanggar independensi. 

"Sanksi ini dapat berakibat fatal, seperti larangan bagi atlet Indonesia untuk bertanding di ajang internasional dengan membawa nama negara," serunya. 

LaNyalla juga menyampaikan ketidakrealistisan aturan keuangan dan tata kelola. "Permenpora ini memuat ketentuan yang dianggap tidak realistis, terutama terkait larangan pengurus mendapat honor dari dana hibah pemerintah," imbuhnya. 

​Alih-alih menyelesaikan masalah dualisme, LaNyalla justru menilai Permenpora No 14 tahun 2024 berpotensi menciptakan konflik baru. Aturan yang tidak populer dan diberlakukan secara sepihak akan menimbulkan penolakan dari berbagai pihak.

"Bisa saja terjadi penolakan dari KONI di tingkat daerah dan provinsi, serta induk cabor, dan itu dapat menyebabkan perpecahan. Ada risiko munculnya dua kubu, satu yang mengikuti aturan Kemenpora, dan satu lagi yang menolak dan berpegang pada aturan internal organisasi. Hal ini bisa mengganggu persiapan atlet dan persiapan ajang multi-event seperti PON (Pekan Olahraga Nasional)," tuturnya.

Aspirasi KONI

Sebelumnya, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat menerima aspirasi keresahan dari pengurus KONI di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Nomor 14 Tahun 2024.

"KONI Pusat terus memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh Permenpora No14 tahun 2024 terhadap KONI tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia," kata Ketua Umum KONI Pusat Marciano Norman pada pertemuan dengan pengurus KONI Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah sebagaimana keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Ketua Umum KONI Provinsi Jawa Tengah Bona Ventura Sulistiana bersama Ketua KONI Kota Salatiga Agus Purwanto, Ketua KONI Kabupaten Pemalang Nugroho Budi Rahardjo menyampaikan keresahan terkait Permenpora Nomor 14 Tahun 2024 tentang Standar Pengelolaan Organisasi Olahraga Lingkup Olahraga Prestasi.

Mereka menginginkan agar Permenpora tersebut dicabut karena berdampak pada berbagai hal seperti menghambat pembinaan atlet, terutama di daerah.​​​​​​

Selain itu, adanya Permenpora tersebut membuat pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan organisasi dan pembinaan atlet. Pemerintah seharusnya berperan sebagai regulator bukan pelaksana yang membuka ruang terjadinya benturan kepentingan.

KONI Jawa Tengah juga memandang bahwa fungsi pelaksana seharusnya ada di masyarakat dalam hal ini KONI dan cabang olahraga. Persoalan lain yang dihadapi KONI di Jawa Tengah yaitu banyak kegiatan olahraga yang tidak bisa digelar karena anggaran yang dibatasi, salah kegiatan seperti Pekan Olahraga Provinsi (Porprov).

Selain itu, KONI Kabupaten Pemalang juga mengungkapkan hambatan dalam pelaksanaan program olahraga karena penyaluran dana hibah dari pemerintah yang sering terlambat, sementara cabang-cabang olahraga belum mandiri secara finansial.

Menanggapi aspirasi tersebut, Marciano menyatakan mengambil langkah selanjutnya berupa menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk mengatasi dampak Permenpora tersebut terhadap pendanaan daerah.

Marciano juga menyarankan agar KONI di daerah tetap mengajukan anggaran seperti biasanya karena yang seharusnya menentukan anggaran adalah masing-masing pemerintah daerah. "Saya juga akan coba membuka komunikasi oleh pemangku kepentingan di pusat agar hal ini bisa disosialisasikan," tuturnya. 

KONI Pusat telah melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI, terkait Permenpora tersebut dan komisi tersebut berjanji akan memfasilitasi pertemuan dengan Menteri Pemuda dan Olahraga.

Marciano berencana pada saat rapat kerja nasional KONI pada Agustus, dampak Permenpora tersebut akan ditindaklanjuti dengan pembahasan para peserta rapat dari seluruh Indonesia.

"Rakernas nanti bisa jadi momentum besar menyuarakan keresahan ini," katanya.