periskop.id - Mengikuti gerakan berjamaah partai Nasdem, PAN dan Golkar dalam menonaktifkan anggota-anggotanya dari keanggotaan di DPR RI terkait eskalasi demonstrasi publik, ada baiknya kita memahami makna di balik kata Nonaktif ini.

Istilah nonaktif dan pemberhentian tetap sering dipakai bergantian, padahal keduanya berbeda secara hukum dan konsekuensi. “Nonaktif” sendiri bukanlah istilah yang dikenal dalam Undang-Undang. Praktiknya lebih merupakan keputusan internal partai/fraksi untuk membekukan peran politik seorang anggota. 

Sementara jika kita merujuk pada istilah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan ditemukan dua jenis frasa, “pemberhentian sementara” dan “pemberhentian tetap,” dengan konsekuensi dan prosedur yang jelas dalam UU MD3 dan peraturan internal DPR.

Dalam praktik, penonaktifan biasanya dipahami sebagai padanan politik dari “pemberhentian sementara,” di mana anggota tidak menjalankan fungsi representasi, dicopot dari alat kelengkapan/fraksi, dan dibatasi akses fasilitas jabatan. 

Regulasi DPR menyebut pemberhentian sementara sebagai sebuah sanksi berat yang diputuskan MKD, namun tetap ada hak keuangan tertentu yang diterima selama masa tersebut. 

Di sisi lain, sejumlah pernyataan pejabat menyiratkan penghentian fasilitas selama nonaktif, hal ini menunjukkan bahwa pada implementasinya di lapangan sangat bergantung pada keputusan organ partai dan DPR.

Pemberhentian tetap adalah pengakhiran status keanggotaan DPR melalui mekanisme hukum formal. Partai mengusulkan pemberhentian antarwaktu (recall/PAW) berdasarkan UU MD3, yang berujung pada penggantian kursi oleh calon peraih suara terbanyak berikutnya. 

Berbeda dari nonaktif, pemberhentian tetap memutus seluruh mandat dan hak sebagai anggota DPR setelah diproses dan disahkan sesuai prosedur. 

Kasus-kasus terbaru membantu membedakan batas keduanya. Partai NasDem, misalnya, menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi NasDem efektif 1 September 2025. 

“Bahwa sesungguhnya aspirasi masyarakat harus tetap menjadi acuan utama dalam perjuangan Partai NasDem,” kata Sekjen NasDem, Hermawi Taslim, saat menjelaskan dasar keputusan tersebut. 

Penonaktifan ini menghentikan peran politik mereka di fraksi, namun belum otomatis berujung pada PAW.

MKD DPR RI menyebut penonaktifan penting untuk menjaga marwah DPR, di mana aksi penonaktifan ini mencerminkan sebuah sanksi instan sekaligus “rem darurat” politik sebelum langkah hukum permanen ditempuh, jika memang diperlukan.

Dalam ranah norma internal DPR, pemberhentian sementara diatur sebagai sanksi berat dengan durasi minimum tiga bulan, yang masih mungkin untuk memperoleh hak keuangan tertentu. 

Maka jelas, istilah nonaktif sangat bersifat temporal dan korektif, sedang di sisi hukum terberat ada frasa pemberhentian tetap yang permanen.

Ketika sebuah partai memilih jalur pemberhentian tetap pada anggotanya, prosedurnya menjadi sangat terukur. Usulan partai disampaikan ke Pimpinan DPR, kemudian dalam tujuh hari diteruskan ke Presiden, lalu Presiden punya 14 hari untuk meresmikan, dan terakhir DPR meminta nama pengganti ke KPU, yang wajib direspons dalam lima hari. Kursi kemudian diisi calon dengan suara terbanyak berikutnya dari partai dan dapil yang sama. 

Secara politis, nonaktif kerap dipilih untuk meredam krisis dengan cepat tanpa kehilangan kursi, sedangkan pemberhentian tetap dipakai saat diperlukan pemutusan kewenangan secara total. 

Dalam pernyataannya menanggapi situasi nasional terkini, Presiden Prabowo juga menyinggung adanya langkah tegas parpol berupa “pencabutan keanggotaan DPR RI terhadap anggota yang menyampaikan pernyataan-pernyataan keliru,” ini menandakan bahwa opsi permanen pun ada di atas meja jika kode etik memang dilanggar berat.