periskop.id - Pagi 10 September 2025 di tengah hamparan hijau sebuah perbukitan di Kabupaten Aceh Besar, ratusan aparat gabungan bergerak menuju dua titik yang telah dipetakan. Di sana, ribuan batang ganja tumbuh subur di antara tanah berbatu dan lereng curam.
Hari itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) memusnahkan sedikitnya 5.000 batang ganja dengan berat basah mencapai 2,3 ton.
Operasi ini bukan yang pertama, dan tentu bukan yang terakhir. Aceh, khususnya wilayah pegunungan Aceh Besar, Aceh Utara, dan Gayo Lues, sudah lama dikenal sebagai salah satu pusat budidaya ganja terbesar di Indonesia.
Sejarahnya bahkan membentang jauh sebelum kata “narkotika” menjadi istilah hukum. Menurut sejarawan lokal, tanaman ganja diperkenalkan ke Aceh sejak masa perdagangan lintas Samudra Hindia pada abad ke-19.
Awalnya, ganja digunakan sebagai tanaman serat, bahan obat tradisional, dan campuran bumbu masakan. Di beberapa desa, daun ganja kering bahkan menjadi bagian dari resep kuliner khas.
Perubahan besar terjadi pada dekade 1970-an, ketika permintaan ganja sebagai narkotika mulai meningkat di pasar internasional.
Letak Aceh yang strategis, tanah subur, dan iklim tropis membuatnya ideal untuk budidaya dalam skala besar. Sejak itu, ganja menjadi komoditas gelap yang menggiurkan.
Pada masa konflik bersenjata di Aceh (1976–2005), ladang ganja sering berada di wilayah yang sulit dijangkau aparat. Beberapa laporan menyebut hasil penjualan ganja ikut mengalir ke kelompok bersenjata untuk membiayai operasi mereka.
Situasi ini membuat pemberantasan ganja pun menjadi lebih rumit, karena bercampur dengan dinamika politik dan keamanan.
Setelah damai tercapai pada 2005, pemerintah mulai gencar melakukan operasi pemusnahan secara konsisten. Namun, kebiasaan turun-temurun dan nilai ekonomi yang tinggi membuat sebagian warga tetap menanam ganja secara sembunyi-sembunyi.
Ladang-ladang ini biasanya tersembunyi malu di balik kebun kopi, pinang, atau hutan yang lebat.
Operasi 10 September 2025 menjadi contoh nyata tantangan tersebut. Berdasarkan penyelidikan sejak akhir Agustus, BNN menemukan dua lokasi di Desa Pulo dan Desa Ie Seum, Aceh Besar.
Lokasi pertama seluas 1,3 hektare berisi 3.500 batang, sementara lokasi kedua seluas 0,7 hektare menampung 1.500 batang.
Kombes Pol Riki Kurniawan, Kepala Satgas Pemusnahan Ladang Ganja BNN, menyebut Aceh masih terus menjadi daerah rawan peredaran ganja. Komitmen pemberantasan dari sisi Pemerintah saja tidak akan pernah cukup, khususnya jika hanya dengan operasi tanpa edukasi.
“Partisipasi masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari narkoba,” ujarnya mengutip Antara, Jumat (12/9).
Pengamat sosial Aceh, Teuku Rahman, menilai budidaya ganja di Aceh adalah fenomena kompleks yang hingga hari ini masih terus ada.
“Bagi sebagian petani, ganja adalah sumber penghasilan cepat di tengah keterbatasan akses pasar untuk komoditas legal. Selama masalah ekonomi ini tidak diatasi, ladang ganja akan selalu tumbuh kembali,” katanya.
Rahman juga menambahkan bahwa ganja di Aceh bukan sekadar tanaman terlarang, tetapi juga bagian dari sejarah agraria daerah tersebut.
“Dulu, ganja tidak dipandang sebagai ancaman. Baru setelah regulasi narkotika diperketat, statusnya berubah menjadi ilegal,” ujarnya.
Pemerintah pusat telah mencoba berbagai pendekatan, termasuk program alih komoditas. Beberapa desa diarahkan menanam kopi, kakao, atau pala sebagai pengganti. Namun, harga jual yang fluktuatif dan biaya produksi yang tinggi membuat sebagian petani selalu tergiur untuk kembali ke 'pelukan' ganja.
Di sisi lain, aparat keamanan terus meningkatkan teknologi pemantauan, termasuk penggunaan citra satelit dan drone untuk mendeteksi ladang tersembunyi.
Meski begitu, Aceh yang hingga Desember 2024 masih memiliki setidaknya 2,94 juta hektare hutan tropis, tentu menjadi medan yang sulit untuk disisir dengan mata satelit sekalipun.
Kasus 10 September 2025 juga menunjukkan bahwa jaringan distribusi ganja di Aceh masih aktif. Tanaman yang dimusnahkan sebagian besar sudah mendekati masa panen, menandakan adanya pasar yang siap menampung.
Bagi generasi muda Aceh, ganja adalah warisan yang masih terus diperdebatkan. Sebagian melihatnya sebagai tradisi masa lalu yang harus ditinggalkan, sementara yang lain menganggapnya sebagai potensi ekonomi jika suatu saat legalisasi “mungkin” terjadi.
Namun, untuk saat ini, hukum Indonesia tegas melarang ganja dalam bentuk apa pun.
Operasi demi operasi akan terus dilakukan. Memperpanjang perjalanan tanaman ini di Tanah Rencong.
Apakah suatu saat Aceh akan bersih dari tanaman ini? Perlukah? Toh, selama ini bahkan Aceh tak pernah terdeteksi sebagai provinsi yang ranjing pada konsumsi ganja sebagai narkoba.
Tinggalkan Komentar
Komentar