periskop.id - Middle income trap adalah keadaan ketika sebuah negara sudah lulus dari kategori berpendapatan rendah, tetapi pertumbuhan ekonominya kemudian melambat sehingga sulit naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Biasanya, negara terjebak karena biaya tenaga kerja tak lagi murah sementara inovasi, produktivitas, dan teknologi belum cukup untuk bersaing di segmen bernilai tambah tinggi.
Dalam fase ini, keuntungan kompetitif berbasis upah rendah memudar, tetapi transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan belum tercapai. Akibatnya, pendapatan per kapita cenderung stagnan, dan ekosistem industri tidak menciptakan lonjakan nilai tambah yang dibutuhkan untuk menembus ambang negara maju.
Secara klasifikasi, Bank Dunia membagi negara menurut GNI per kapita: menengah bawah (US$1.136–US$4.465), menengah atas (US$4.466–US$13.845), dan tinggi (di atas US$13.845).
Pada 2025, Indonesia berada di kelompok menengah atas dengan GNI per kapita sekitar US$5.027, masih jauh dari ambang negara maju US$13.845.
Setelah kontraksi 2020, ekonomi Indonesia pulih dan stabil di sekitar 5% per tahun. Laju ini menjaga kestabilan, tetapi banyak analis menilai dibutuhkan pertumbuhan minimal 6% atau lebih secara konsisten agar Indonesia dapat naik kelas sebelum jendela bonus demografi menutup di 2040-an.
Sinyal kerentanan tampak pada dinamika kelas menengah. BPS dan kajian menunjukkan proporsi kelas menengah turun dari 19,82% (53,83 juta jiwa) pada 2021 menjadi 17,13% (47,85 juta jiwa) pada 2024; banyak rumah tangga bergeser ke kelompok rentan karena tekanan biaya hidup dan upah yang tak seimbang.
Survei juga menunjukkan hanya 17% penduduk yang stabil di kelas menengah, menandakan rapuhnya daya tahan finansial rumah tangga terhadap guncangan kecil.
Dari sisi struktur pekerjaan dan manufaktur lesu. Pada 2023, sektor ini hanya menyerap sekitar 13,83% tenaga kerja, tertinggal dari pertanian dan perdagangan. Investasi rendah dan adopsi teknologi yang lambat mempersempit peluang peningkatan produktivitas yang diperlukan untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Kualitas modal manusia ikut menentukan. Skor PISA 2022 untuk literasi dan numerasi masih di bawah target nasional dan rata-rata OECD, sementara akses pendidikan tinggi baru menjangkau sekitar 17,93% usia produktif.
Ketertinggalan ini menghambat kemampuan generasi muda beradaptasi dengan disrupsi dan meningkatkan produktivitas sektor bernilai tambah tinggi.
Menjawab tantangan, pemerintah menekankan hilirisasi dan industrialisasi lintas sektor, bukan hanya manufaktur berat.
Di pertanian, gagasan menambah nilai melalui pengolahan, logistik dingin, dan standar mutu menjadi strategi untuk memperkuat daya saing sekaligus ketahanan pangan.
Belajar dari negara yang berhasil, Korea Selatan dan Taiwan keluar dari middle income trap melalui investasi besar-besaran pada pendidikan, riset, dan kebijakan industri yang mendorong manufaktur berteknologi serta ekspor berdaya saing.
Mereka mengorkestrasi rencana pembangunan lima tahunan yang mengangkat produktivitas dan inovasi, menghasilkan pertumbuhan tinggi berkelanjutan sampai menembus status negara maju.
Indonesia punya jendela kesempatan yang terbatas. Analisis kebijakan menekankan periode 2035–2040 sebagai ambang krusial ketika bonus demografi mulai memudar; jika transformasi produktivitas, inovasi, dan kualitas SDM tidak dipercepat sebelum itu, risiko terjebak berkepanjangan akan meningkat.
Karena itu, strategi yang disorot mencakup peningkatan kualitas SDM, penguatan ekosistem riset dan inovasi, stabilitas makro, serta pengembangan UMKM agar naik kelas ke rantai pasok formal dan teknologi.
Fondasi ini perlu dikombinasikan dengan kolaborasi erat pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk memastikan kebijakan tidak berhenti di dokumen, melainkan menghasilkan lompatan produktivitas nyata.
Pada akhirnya, keluar dari middle income trap bukan soal satu kebijakan, melainkan konsistensi eksekusi: pendidikan yang relevan, industri yang bergerak ke produk berteknologi, riset yang terhubung dengan pasar, dan pertumbuhan inklusif yang memperkuat kelas menengah.
Jika Indonesia menjaga disiplin kebijakan dan fokus pada nilai tambah, peluang untuk menembus ambang negara maju tetap terbuka.
Tinggalkan Komentar
Komentar