Periskop.id - Tren thrifting atau jual beli pakaian bekas, yang belakangan semakin marak, ternyata menyimpan masalah serius bagi perekonomian nasional. Di balik popularitasnya, terjadi peningkatan masif dalam peredaran pakaian bekas yang diduga merupakan barang impor ilegal. Angka-angka perdagangan menunjukkan bahwa lonjakan impor ilegal ini telah memberikan dampak negatif yang signifikan, mulai dari menggerus pangsa pasar lokal hingga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan peningkatan dramatis dalam nilai impor pakaian bekas. Pada tahun 2022, nilai impor pakaian bekas mencapai US$272.146 dengan volume 26,22 ton. Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun 2021 yang hanya mencatat US$44.000 dengan total berat 8 ton. Meskipun pada 2023 impor pakaian bekas turun menjadi US$29.759 dengan volume 12,86 ton, dampak kerugian yang ditimbulkan pada tahun-tahun sebelumnya masih terasa kuat dan berkelanjutan.

Maraknya produk impor ini dinilai mulai mengganggu serapan produksi tekstil domestik.

Pangsa Pasar Lokal Tergerus

Dampak negatif pertama dan yang paling terasa adalah berkurangnya pangsa pasar produk tekstil lokal. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (Apsyfi) mengungkapkan data kerugian yang mencengangkan.

Sepanjang tahun 2022, pakaian bekas hasil impor ilegal ditaksir telah menggerus konsumsi produk lokal hingga 432 ribu ton. Mengingat total konsumsi pakaian dan barang jadi lainnya pada 2022 mencapai 1,9 juta ton, yang terdiri dari impor resmi 100 ribu ton dan suplai industri lokal 1,4 juta ton, maka impor ilegal pakaian bekas telah menggeser pasar industri tekstil lokal sebesar 22,73%.

Angka 22,73% ini seharusnya menjadi pangsa pasar bagi produk lokal. Kehilangan pangsa pasar seperlima ini tentu menjadi kerugian besar bagi negara, khususnya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dan memengaruhi kinerja industri secara keseluruhan.

Kinerja Industri TPT Anjlok dan PHK Massal

Dampak kedua adalah potensi menurunnya kinerja industri TPT nasional yang sudah mulai terlihat dari memburuknya kinerja sejumlah perusahaan tekstil yang berujung pada PHK.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat penurunan jumlah tenaga kerja di industri tekstil sebesar 7,5% pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Penurunan jumlah tenaga kerja di sektor tekstil terlihat drastis dalam jangka panjang. Pada 2015, jumlah tenaga kerja sektor tekstil sebanyak 1.248.080 orang, sedangkan pada 2024, jumlahnya tersisa 957.122 orang.

Sementara itu, jumlah tenaga kerja di sektor industri pakaian jadi (wearing apparels) juga menurun 0,85% (yoy) pada 2024, dengan total 2.916.005 orang, meskipun secara umum jumlah pekerja di sektor ini mengalami peningkatan sejak 2015. Penurunan terbaru ini mengindikasikan bahwa tekanan dari barang impor ilegal mulai memukul sektor yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar ini.

Pendapatan Negara Turun dan Kontribusi PDB Melorot

Dampak ketiga berkaitan dengan kerugian pendapatan negara. Sebagian besar produk impor pakaian bekas yang beredar di Indonesia merupakan barang selundupan atau ilegal. Artinya, produk tersebut masuk tanpa membayar bea dan cukai, menyebabkan kerugian fiskal.

Kerugian ini juga tercermin dari kontribusi industri tekstil dan pakaian jadi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha.

Meskipun tahun 2019 merupakan puncak masuknya pakaian bekas impor, kontribusi sektor industri TPT terhadap PDB harga berlaku pada tahun itu mencapai 1,26%. Namun, angkanya terus menurun dalam empat tahun berikutnya, dengan rincian:

  • 2020: 1,21%
  • 2021: 1,06%
  • 2022: 1,03%
  • 2024: 0,98%
  • 2025: 0,99%

Tren penurunan kontribusi PDB ini menunjukkan bahwa tekanan impor ilegal telah memengaruhi kinerja makroekonomi sektor TPT, yang padahal merupakan salah satu pilar industri manufaktur di Indonesia. Jika praktik impor pakaian bekas ilegal ini terus berlanjut, dipastikan industri TPT dalam negeri akan semakin terpuruk dan memengaruhi perekonomian secara keseluruhan.