Periskop.id - Tren membeli pakaian bekas kian digandrungi pecinta mode busana. Sebagian besar mengenalnya dengan istilah thrifting, sementara sebagian lainnya lebih akrab dengan preloved atau barang secondhand. Secara etimologi, istilah thrifting sendiri berasal dari bahasa Inggris yang bermakna penghematan, namun kini diartikan sebagai kegiatan jual beli barang bekas berupa pakaian, aksesori, sepatu, dan lain-lain.

Belakangan, maraknya penjualan pakaian bekas yang diduga berasal dari impor ilegal menimbulkan kekhawatiran besar. Pernyataan dari otoritas, termasuk yang disuarakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengenai larangan pakaian thrift impor, memicu ketakutan di kalangan penjual dan konsumen bahwa semua thrifting akan dianggap ilegal dan diberantas oleh Pemerintah.

Namun, kenyataannya, tidak semua aktivitas thrifting dianggap ilegal. Pemerintah secara tegas membedakan antara kegiatan impor pakaian bekas yang dilarang dengan kegiatan jual beli pakaian bekas lokal yang justru didukung penuh.

Garis Pemisah Impor Ilegal dengan Thrifting Lokal

Menurut laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pada dasarnya, tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan thrifting asalkan barang yang diperjualbelikan berasal dari dalam negeri.

Hal yang menjadi target larangan keras Pemerintah adalah praktik impor pakaian bekas. Kegiatan ini merupakan ilegal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Produk ini dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan. Selain risiko kesehatan, impor ilegal pakaian bekas jelas merugikan negara karena tidak ada bea dan cukai yang dipungut sebagaimana impor barang kena pajak lainnya yang sah.

Pemerintah tidak main-main. Adapun konsekuensi hukum bagi orang yang melakukan penyelundupan di bidang impor akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan pidana penjara paling lama sepuluh tahun serta pidana denda paling sedikit sebesar Rp50 juta dan paling banyak Rp5 miliar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan.

Thrifting Lokal Sebagai Peluang Ekonomi Kreatif

Berbeda dengan impor ilegal, Pemerintah justru sangat mendukung kegiatan thrifting yang memanfaatkan produk/pakaian lokal.

Dukungan ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) kala itu, Sandiaga Uno, bahkan mengungkapkan bahwa thrifting masuk ke dalam kategori wisata belanja yang merupakan peluang usaha ekonomi kreatif dengan mengutamakan prinsip keberlanjutan lingkungan.

Pernyataan ini sejalan dengan konsep thrifting masa kini, di mana pakaian bekas, usang, atau rusak dapat diubah menjadi produk baru melalui proses upcycling, yakni sebuah cara kreatif untuk mengurangi limbah dan menciptakan keberagaman bisnis di bidang mode busana.

Pebisnis thrifting yang mengelola produk lokal dinilai dapat menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga membantu pemerintah dalam upaya mengurangi pengangguran dan memberdayakan masyarakat.

Insentif untuk UMKM Thrifting

Sebagai bentuk nyata dukungan, pada periode 2022-2023, Sandiaga Uno bahkan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal bagi pebisnis thrifting lokal.

Insentif fiskal meliputi fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai (dari pusat) serta insentif perpajakan daerah dan/atau retribusi (dari daerah). Sementara itu, insentif nonfiskal meliputi penyederhanaan proses impor/ekspor bahan baku, kemudahan akses tempat usaha, kemudahan perizinan, pendampingan, dan bantuan hukum.

Insentif ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.

Meskipun berhak mendapatkan berbagai insentif, pebisnis thrifting juga memiliki kewajiban perpajakan sebagai bentuk kontribusi kepada negara. Mereka wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya.

Namun, pebisnis thrifting yang masuk kategori Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan memiliki omzet tidak lebih dari Rp500 juta per tahun tidak perlu menyetor Pajak Penghasilan (PPh), sesuai ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.