Periskop.id - Pada pertengahan era 1990-an, wacana mengenai mobil nasional menjadi perdebatan sengit di Indonesia. Di satu sisi, ada gagasan ambisius yang berakar pada kemandirian teknologi. Di sisi lain, ada kebijakan yang berujung pada kepentingan bisnis keluarga penguasa. Pertarungan inilah yang menamatkan riwayat proyek mobil nasional Maleo, karya insinyur terbaik Indonesia di bawah komando Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie.

Mimpi Maleo: Mobil Berbasis Teknologi dan Kebanggaan Lokal

Gagasan untuk membangun prototipe mobil nasional sebenarnya sudah muncul dari BJ Habibie sejak tahun 1993. Keinginan itu disambut hangat oleh politisi di Senayan yang pada 1994 bahkan mendesak Habibie untuk mempercepat perwujudan industri mobil nasional.

Habibie, yang kala itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi, menyambut tantangan tersebut dengan serius. Ia menamai proyeknya Maleo, diambil dari nama burung langka yang berasal dari Pulau Sulawesi, sebagai simbol keunikan dan kebanggaan nasional.

Habibie merencanakan Maleo sebagai sedan dengan mesin bertenaga 1.200 cc. Yang paling ambisius, ia menargetkan Maleo menggunakan 60% kandungan lokal. Bahkan, ia bercita-cita menggunakan 80% komponen lokal setelah fase prototipe. Untuk mewujudkannya, Habibie menggandeng industri strategis lokal seperti Pindad, IPTN, hingga Inka, serta melibatkan puluhan insinyur dalam negeri. Ia juga sempat menyampaikan bahwa Maleo akan menggunakan mesin dari Ford dan General Motors, asal Amerika Serikat.

Prototipe mobil yang desainnya mengadopsi model Eropa itu berhasil dibuat pada tahun 1994. Konon, Habibie berencana membuat sedan Maleo dalam dua versi bahan bakar, yakni bensin dan hidrogen. Proyek ini digadang-gadang akan dibanderol dengan harga yang sangat terjangkau, yaitu di angka Rp20 jutaan.

Habibie telah membayangkan akan memperkenalkan Maleo secara publik pada 1995 dan mulai menjualnya secara massal pada 1998.

Keputusan Soeharto: Kemenangan Timor, Kekalahan Maleo

Sayangnya, mimpi Maleo harus tinggal mimpi. Pada tahun 1995, Presiden Soeharto berkehendak lain. Alih-alih memilih proyek Maleo yang berbasis teknologi lokal, Soeharto justru memilih mobil Timor milik anaknya, Tommy Soeharto, sebagai mobil nasional.

Pemilihan Timor ini banyak diragukan sebagai karya anak bangsa karena diklaim hanya merupakan ganti nama (rebadge) dari sedan buatan Korea Selatan, KIA Sephia 1.500 cc.

Proyek Timor dijalankan oleh PT Timor Putra Nasional (TPN) yang lahir berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1996. Inpres ini secara tegas memberikan fasilitas istimewa kepada perusahaan milik Tommy Soeharto berupa pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga Timor mampu dijual dengan harga separuh dari harga mobil Jepang sekelasnya, yang memiliki harga sekitar Rp70 juta hingga Rp80 juta).

Keputusan ini membuat proyek Maleo yang dipimpin Habibie tak mendapatkan dukungan dan akhirnya mangkrak.

Mobil Timor sendiri tidak berumur panjang. TPN, yang beroperasi antara 1996 hingga 2000, ikut terhempas krisis moneter 1998 dan juga menghadapi protes keras dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) karena fasilitas pajak istimewa tersebut dianggap melanggar aturan perdagangan internasional. Mimpi mobil nasional yang berlandaskan kemandirian teknologi pun harus ditangguhkan, dikalahkan oleh kebijakan yang memprioritaskan kepentingan bisnis keluarga.