Periskop.id - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menilai, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan salah satu opsi strategis untuk transisi energi yang siap berperan dalam mendukung ketahanan energi nasional.

“PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional,” ujar Yuliot, seperti dilansir Antara di Jakarta, Senin (27/10). 

Yuliot menjelaskan, Indonesia sudah memiliki visi untuk mengembangkan tenaga nuklir sejak awal 1960-an. Langkah ini diawali dengan pembangunan tiga reaktor riset, yaitu Reaktor Triga di Bandung (2 MW), Reaktor Kartini di Yogyakarta (100 kW), dan Reaktor Serpong di Tangerang Selatan (30 MW).

Lebih lanjut, ia menuturkan pengembangan tenaga nuklir di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat. Mulai dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, hingga tercantumnya arah pembangunan PLTN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.

“Seluruh dokumen tersebut menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama pada tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 GW pada tahun 2060,” ucapnya.

Dari total rencana 44 GW, lanjut dia, sekitar 35 MW akan dialokasikan untuk kebutuhan listrik umum, sementara 9 GW ditujukan bagi produksi hidrogen nasional. Sesuai PP tersebut, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional diproyeksikan meningkat menjadi 5% pada tahun 2030, dan mencapai 11% pada tahun 2060.

Meski prospeknya besar, Yuliot mengakui, pengembangan PLTN tidak lepas dari tantangan, terutama dari sisi pendanaan dan waktu pembangunan. Biaya investasi untuk satu unit PLTN dapat mencapai US$3,8 miliar, dengan waktu konstruksi sekitar 4–5 tahun.

Selain itu, kekhawatiran masyarakat terhadap risiko bencana alam juga menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah akan memperhatikan penuh mitigasi dan pengawasan yang ketat, serta kerja sama internasional untuk memastikan operasional melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

PLTN Bengkayang
Belum lama ini, Bapeten sendiri mulai melakukan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), untuk rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Kajian ini menjadi langkah awal sebelum pemerintah menetapkan kebijakan dan lokasi pembangunan PLTN di wilayah Kalimantan.

"Kegiatan ini bertujuan menjaring isu strategis dan masukan masyarakat mengenai rencana pembangunan PLTN di daerah tersebut," ujar Staf Bapeten, Taruniyati Handayani dalam audiensi penyusunan KLHS di Bengkayang, Rabu (22/10). 

Dia menjelaskan, KLHS merupakan instrumen penting untuk memastikan rencana pembangunan PLTN tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

“Kami ingin memastikan bahwa pembangunan PLTN aman bagi lingkungan dalam jangka panjang dan memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat,” ucapnya. 

Taruniyati menuturkan, Bapeten akan melakukan konsultasi publik pada awal November mendatang, untuk mendengar langsung pandangan masyarakat dan pemerintah daerah. Menurutnya, sejauh ini belum ada penolakan, hanya pertanyaan mengenai alasan pemilihan lokasi dan potensi dampaknya.

“Pertanyaan itu wajar, dan kami akan menjelaskan semuanya secara terbuka agar masyarakat memahami prosesnya,” serunya.

Ia menegaskan, setiap tahap pembangunan PLTN akan mengikuti standar keselamatan nasional dan internasional. Pengelolaan limbah nuklir juga akan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku.

Bapeten juga katanya, tidak akan memberikan izin pembangunan sebelum seluruh aspek keselamatan dan sosial dikaji dengan tuntas.

Koordinator Bapeten, Anggoro Sepilangso menambahkan, penyusunan KLHS merupakan prasyarat penting sebelum pemerintah mengesahkan kebijakan, rencana, dan program terkait PLTN. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), pemerintah menargetkan pembangunan PLTN di Sumatera dan Kalimantan dengan kapasitas masing-masing 250 megawatt pada 2034.

“Pembangunan PLTN di Indonesia bisa dilakukan oleh pemerintah, BUMN, atau pihak swasta untuk tujuan komersial, tetapi seluruh prosesnya harus melalui izin dan pengawasan ketat dari Bapeten. Prinsip utamanya adalah keselamatan, keberlanjutan, dan penerimaan publik,” ujar Anggoro.

Melalui kajian ini, Bapeten berharap rencana pembangunan PLTN di Bengkayang dapat memberikan arah kebijakan yang jelas dan berbasis ilmiah.

“Kajian lingkungan bukan hanya formalitas, tapi fondasi untuk memastikan pembangunan yang aman, berkelanjutan, dan diterima masyarakat,” tuturnya. 

Gandeng Brasil
Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjajaki potensi kerja sama nuklir dengan Brasil, terkait dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

“Kemarin saya tanda tangan MoU (nota kesepahaman), termasuk di dalamnya adalah dijajaki kemungkinan kerja sama nuklir,” kata Bahlil ketika dijumpai setelah Upacara Hari Jadi Pertambangan dan Energi yang digelar di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Jumat (24/10). 

Bahlil melirik potensi uranium yang terdapat di Brasil. Lebih dari itu, sejumlah pembangkit listrik di Brasil juga sudah menggunakan nuklir.

“Jadi, sifatnya kami menjajaki. Kalau untuk metanol, etanol, kami saling bertukar pandangan dan saling pelajari. Saling mendukung,” ucapnya.

Pada Kamis (23/10), Indonesia dan Brasil memperkuat kerja sama bilateral di sektor minyak dan gas bumi (migas), energi terbarukan, modernisasi jaringan, sumber daya mineral, serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang diresmikan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Brasil. 

MoU ESDM ditandatangani secara resmi oleh Menteri ESDM RI Bahlil Lahadalia dan Menteri Pertambangan dan Energi Brasil Y M Alexandre Silveira yang disaksikan langsung oleh kedua kepala negara.

Pengalaman Brasil, yang sebagian besar pasokan listriknya berasal dari energi rendah karbon, dinilai sangat relevan bagi Indonesia. Kolaborasi itu juga merupakan tindak lanjut dari kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil pada Juli 2025 lalu.