Periskop.id - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, untuk berhati-hati dalam mengeksekusi rencana menagih kewajiban 200 wajib pajak besar. Hal ini diperlukan agar tidak berujung menjadi bumerang.

“Eksekusi rencana merupakan sesuatu yang harus dijalankan secara tegas, tetapi cara eksekusi harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak backfire,” kata Wijayanto seperti dilansir Antara, Kamis (25/9).

Menurut Wijayanto, tidak semua pengusaha tersebut mempunyai uang untuk membayar pajak, kendati sudah inkrah dan berkekuatan hukum tetap.Bila wajib pajak tak mampu memenuhi kewajiban, langkah yang kemungkinan diambil adalah menyita aset perusahaan pengutang pajak. 

Sementara aset belum tentu dalam kondisi baik dan kemungkinan mayoritas menjadi agunan kredit bank. Nah, mengingat posisi bank yang lebih dominan, pemerintah bisa jadi akan menghadapi tantangan legal yang tidak mudah.

Di sisi lain, penyitaan aset perusahaan berpotensi menimbulkan gelombang kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bila efek negatif sampai pada titik ini, persepsi investor terhadap iklim berusaha dan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terdampak.

Maka dari itu, Wijayanto berpendapat, eksekusi rencana Purbaya itu tidak boleh bersifat one size fit all atau diterapkan dengan pendekatan yang sama tanpa adanya pertimbangan yang lebih spesifik.

“Ada beberapa perusahaan yang karena posisi dan situasinya perlu diberi waktu lebih untuk menyelesaikan utang pajak tersebut. Tentunya bukan karena kedekatan politik atau posisi politiknya,” ujar Wijayanto.

Kendati begitu, Wijayanto menggarisbawahi implementasi rencana tersebut harus adil dan tidak boleh tebang pilih, agar kebijakan tetap kredibel dan efektif.

“Isunya, akan banyak perusahaan dengan koneksi politik dengan pusat kekuasaan, tentunya ini perlu political will yang kuat dari Pemerintah,” kata Wijayanto.

Potensi Hingga Rp60 Triliun

Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bakal mengejar 200 wajib pajak besar untuk menagih tunggakan pajak yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Potensi tagihan mencapai Rp60 triliun.

Purbaya menyebut, bakal segera mengeksekusi rencananya itu dalam waktu dekat. Ia optimistis para penunggak pajak itu tak bisa mangkir dari kewajiban mereka.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku siap berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan untuk mengejar tunggakan 200 wajib pajak besar yang mencapai Rp50-60 triliun.

“KPK tentu sangat terbuka untuk melakukan sinergi dan kolaborasi terhadap pihak siapa pun dalam konteks pemberantasan korupsi. Dalam hal dengan Kementerian Keuangan, yakni terkait dengan bagaimana kami mengoptimalkan pendapatan negara khususnya dari penerimaan pajak,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.

Budi menjelaskan, pemberantasan tindak pidana korupsi pada sektor anggaran tidak hanya berpotensi terjadi di pos penganggaran maupun pembiayaan, tetapi juga dapat terjadi di pos penerimaan.

“Kita ketahui pos-pos penerimaan anggaran negara itu kan ada dari pajak, biaya cukai, juga dari PNBP atau penerimaan negara bukan pajak. Artinya, memang perlu dilakukan pendampingan dan pengawasan supaya penerimaan-penerimaan negara ini bisa kita sama-sama jaga sehingga bisa optimal memberikan penerimaan bagi negara,” bebernya.