Periskop.id - Dunia kencan modern, terutama di kalangan anak muda, diwarnai sebuah paradoks: meskipun keinginan untuk menjalin hubungan yang bermakna tinggi, asumsi dangkal dan bias psikologis justru menjadi penghalang utama terwujudnya koneksi tersebut. Kecenderungan untuk menyederhanakan calon pasangan menjadi sekadar daftar kekurangan (icks) menciptakan jarak antara persepsi dan kenyataan.

Kesenjangan Asumsi: Misinterpretasi Niat dalam Hubungan

Dilansir dari Psychology Today, Laporan “Green Flags Study 2024” dari Tinder, yang melibatkan sekitar 8.000 lajang heteroseksual di Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Kanada, menyoroti adanya kesenjangan asumsi yang signifikan antara pria dan perempuan.

Studi itu menunjukkan bahwa banyak anak muda kerap salah menafsirkan tanda-tanda positif (green flags) sebagai tanda bahaya (red flags), dan sering menilai niat seseorang secara keliru akibat pemikiran stereotipal.

Temuan kunci menunjukkan adanya miskomunikasi serius, di mana sebanyak 65% perempuan berasumsi bahwa pria hanya menginginkan hubungan yang santai atau tanpa komitmen. Faktanya, hanya 29% pria yang benar-benar melaporkan menginginkan hubungan seperti itu.

Padahal, baik pria (78%) maupun perempuan (84%) sama-sama menyatakan bahwa mereka mendambakan hubungan yang bermakna dan kemitraan yang setara. Kesenjangan asumsi ini menyoroti bahwa tujuan dan keinginan mereka sebenarnya jauh lebih sejalan daripada yang mereka kira.

Alih-alih memperhatikan perilaku nyata, banyak orang membangun narasi berdasarkan dugaan awal. Hal ini menciptakan apa yang disebut ‘culture of assumption’, di mana individu disederhanakan menjadi daftar ‘icks’, yakni kebiasaan kecil atau perilaku sepele yang secara instan mengurangi ketertarikan.

Ancaman Confirmatory Bias dan Mentalitas

Fenomena icks membuat calon pasangan dipersempit menjadi daftar kekurangan, di mana hal-hal kecil yang tidak penting diperbesar, dan seseorang mudah didiskualifikasi sebelum sempat dikenal lebih dalam.

Riset tahun 2008 berjudul “Confirming Preferences or Collecting Data? Information Search Strategies and Romantic Partner Selection” yang diterbitkan dalam jurnal Psychology, Health and Medicine, menemukan bahwa sebagian besar responden justru cenderung mencari informasi yang memperkuat kesan awal mereka, sebuah kecenderungan yang dikenal sebagai ‘confirmatory bias’.

Psikolog menilai bahwa fokus pada icks seringkali mencerminkan ketakutan terhadap keintiman atau kerentanan diri sendiri. Dengan berfokus pada kekurangan orang lain, seseorang secara tidak langsung menghindari potensi kerentanan yang harus dihadapi dalam hubungan yang lebih dalam. Mentalitas seperti ini melatih otak untuk menilai secara dangkal, mengabaikan empati, dan menyederhanakan manusia.

Konsekuensi Psikologis: Hilangnya Keaslian Diri

Ketika culture of assumption atau icks menjadi norma, dampaknya meluas pada individu. Banyak orang mulai menyensor diri sendiri untuk menghindari penolakan. Akibatnya, timbul siklus interaksi yang dangkal dan penuh kepura-puraan, yang memperkuat ketakutan untuk menjadi autentik. Padahal, keterbukaan adalah fondasi hubungan yang sehat.

Sebuah penelitian tahun 2023 berjudul “Reciprocal Relationships Between Self-Control and Self-Authenticity: A Two-Wave Study” yang terbit di jurnal Frontiers in Psychology meneliti hubungan timbal balik antara pengendalian diri (self-control) dan keaslian diri (self-authenticity). Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan mengatur diri membantu seseorang bertindak sesuai jati dirinya, dan menjadi autentik justru memperkuat kemampuan mengendalikan diri.

Namun, dalam dunia kencan yang terlalu fokus pada kesempurnaan, pengendalian diri justru digunakan untuk menjaga citra semata demi diterima orang lain. Konsekuensi dari kepura-puraan ini adalah:

  1. Koneksi Tulus Berkurang: Ketika dua orang sama-sama menyembunyikan diri, mereka tidak akan benar-benar saling mengenal.
  2. Kelelahan Mental: Menggunakan kontrol diri untuk menutupi diri yang sebenarnya dapat berujung pada menurunnya kesejahteraan psikologis.

Pada akhirnya, fokus berlebihan pada mencari flaws menjadikan proses kencan sebagai serangkaian peluang yang terlewatkan. Untuk membangun koneksi emosional yang nyata, langkah awal adalah menyadari bias asumtif ini dan melihat orang lain sebagai pribadi yang kompleks, bukan sekadar daftar penilaian.