Periskop.id - PT Cibitung Tanjung Priok Port (CTP) Tollways mengusulkan integrasi tarif antar-ruas tol, guna mendorong peningkatan trafik di ruas Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) yang masih tergolong rendah.

Direktur Utama CTP Tollways Yaya Ruhiya mengatakan, rata-rata transaksi harian di JTCC saat ini mencapai 34.000–36.000 kendaraan. Namun, volume tertimbang—yang mengukur jarak tempuh kendaraan—baru berkisar 8.500–8.700 kendaraan per hari.

“Padahal target awal dalam rencana bisnis BPJT (Badan Pengelola Jalan Tol) tertimbangnya itu semestinya tahun ini sudah sampai 34.000 kendaraan per hari,” kata Yaya saat mendampingi kunjungan media ke JTCC di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/11). 

Ia menilai, salah satu penyebab rendahnya trafik adalah disparitas tarif yang cukup tinggi dibandingkan ruas tol lain. Untuk kendaraan golongan I misalnya, selisih tarif antara JTCC dan Tol Cikunir bisa mencapai Rp70.000. Sementara untuk golongan IV dan V, selisihnya bahkan mencapai Rp140.000.

“Untuk itu, kami berharap ada integrasi, supaya integrasi untuk menghilangkan disparitas tarif. Jadi orang mau lewat Tol Jakarta-Cikampek dengan lewat tol JTCC ini tarifnya relatif sama,” tuturnya. 

Diskon 50%

Yaya menambahkan, CTP Tollways telah mengusulkan skema integrasi tarif kepada pemerintah. Usulan tersebut saat ini masih dalam tahap pembahasan. “Sudah kami usulkan, tapi belum final. (Skemanya) pasti (tarif) ada yang naik dan ada yang turun,” serunya. 

Selain mendorong integrasi tarif, CTP Tollways juga telah menerapkan diskon hingga 50% bagi kendaraan golongan II ke atas, sejak JTCC mulai beroperasi pada 2023. Diskon ini diberikan sebagai bentuk subsidi, mengingat kemampuan bayar pengguna di golongan tersebut dinilai lebih rendah.

Asal tahu saja, pembangunan JTCC, yang diresmikan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo pada 2022, merupakan bagian dari rencana induk pemerintah dalam pengembangan jaringan jalan tol nasional.

JTCC dirancang sebagai bagian dari jaringan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta 2 (JORR 2), melengkapi keberadaan tol dalam kota dan JORR 1. Tujuan utamanya mendistribusikan arus lalu lintas agar tidak terpusat di kawasan dalam kota yang sebelumnya kerap mengalami kemacetan.

Namun, Yaya menjelaskan karena JORR 2 dibangun belakangan, biaya investasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan JORR 1 maupun tol dalam kota. Kondisi ini berdampak pada tarif tol yang lebih mahal, sehingga pengendara cenderung membandingkan biaya lintasan antara JORR 1 dan JORR 2 sebelum memilih rute.

Ruas jalan Tol Cibitung-Cilincing memiliki panjang 34 km. Saat ini JTCC memiliki 5 interchange, yaitu Cibitung, Telaga Asih, Gabus, Tarumajaya dan Cilincing. Di Interchange Cibitung, JTCC terhubung dengan ruas tol Jakarta-Cikampek dan ruas tol Cimanggis-Cibitung, sedangkan di Interchange Cilincing terhubung dengan JORR-1.

Distribusi Logistik

Sebelumnya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai keberadaan Jalan Tol Cibitung–Cilincing (JTCC) belum efektif dalam mendukung efisiensi industri logistic, khususnya di kawasan Jakarta.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Mahendra Rianto menyatakan, JTCC sebagai bagian dari JORR 2 sebagai jalur strategis yang menghubungkan secara langsung kawasan industri di timur Jakarta dengan Pelabuhan Tanjung Priok, memang diharapkan dapat memperlancar arus distribusi logistik.

"Tol ini berpotensi mengurangi kemacetan dan mempercepat waktu tempuh menuju Pelabuhan Tanjung Priok karena memang dikhususkan untuk jalur kendaraan logistik, tidak seperti jalan tol lain yang dilalui berbagai jenis kendaraan dengan ritme kecepatan berbeda," ujarnya. 

Namun, ia melanjutkan, efektivitas dari keberadaan tol tersebut saat ini dirasa belum signifikan karena aspek tarif dan regulasi penggunaan. Menurut dia, tarif Tol Cibitung - Cilincing yang tinggi membuat perusahaan jasa logistik enggan menggunakannya.

Perusahaan logistik lebih memilih jalur macet yang tidak berbayar ataupun tol yang lebih murah meski secara jarak lebih jauh. Hal itu, lanjutnya, menjadi salah satu penyebab utama masih terpusatnya akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok melalui Tol Jakarta - Cikampek (Japek) dan jalur arteri lainnya, alih-alih menggunakan Tol Cibitung - Cilincing.

Mahendra menambahkan, kemacetan di jalur logistik menyebabkan pemborosan bahan bakar dan kenaikan biaya logistik yang dibebankan pada masyarakat. Jika lalu lintas lancar, lanjut dia, secara langsung menyumbang pada penurunan kepadatan lalu lintas dan efisiensi logistik nasional. Pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat juga akan memperoleh manfaat dari efisiensi tersebut.

Ia menyebut, pemerintah harus memahami kondisi riil di lapangan. Jika volume kendaraan di sebuah ruas tol sedikit dan jalan arteri tetap padat, maka penyebab utamanya kemungkinan besar adalah tarif tol yang terlalu mahal.

Kondisi tersebut, menurut dia, menunjukkan bahwa infrastruktur baru belum optimal mendukung peralihan arus logistik.

"Optimalisasi JTCC bisa berkontribusi terhadap efisiensi operasional logistik nasional. Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk mendorong efisiensi distribusi barang, baik dari sisi waktu tempuh maupun biaya operasional agar jalur logistik dapat berjalan lebih efektif," tuturnya. 

Disparitas tarif yang cukup besar antara JORR 1 dan JORR 2, juga turut mempengaruhi kemacetan di Jakarta. Banyak pengendara memilih untuk tidak menggunakan JORR 2 yang lebih mahal.

Kondisi tersebut, tambahnya, mengakibatkan arus kendaraan menumpuk di JORR 1 dan jalur pendukung yang terhubung, sehingga kemacetan dirasakan langsung oleh masyarakat maupun pelaku logistik di lokasi tersebut.

Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo sendiri sempat menjanjikan akan mengecek tarif Jalan Tol Cibitung-Cilincing yang dinilai terlalu mahal.

"Nanti saya akan cek kenapa (tarifnya) sampai setinggi itu. Ini saya cek dulu," ujar Dody beberapa waktu lalu.