Periskop.id - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut, saat ini terdapat enam sektor industri yang dibanjiri produk impor jadi. Keenamnya adalah tekstil, baja, elektronik, kosmetik, keramik dan alas kaki.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif ditemui di Jakarta, Selasa (11/11) menyatakan, masifnya produk impor mengganggu kinerja enam sektor tersebut. Juga membuat utilisasi dan produksi industri terkait menjadi tidak maksimal.
"Itu membuat industri di dalam negeri mau produksi banyak berpikir terlebih dahulu. Akhirnya menahan. Harusnya bisa produksi 100, produksi 60 dulu. Takutnya nanti tidak terserap pasar," ucapnya.
Febri menyampaikan, dari enam sektor yang dibanjiri produk impor jadi, baru sektor tekstil yang memiliki aturan terkait pengaturan impor. Kemenperin, lanjut dia, mendukung upaya yang diambil oleh Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyiapkan skema kemitraan antara pedagang pakaian bekas atau thrifting dan pelaku UMKM.
Untuk pasar domestik, kata Febri, diprioritaskan agar menggunakan produk dalam negeri dan tidak menggunakan produk impor jadi. "Membeli produk lokal itu artinya melindungi saudara-saudara kita yang bekerja pada industri itu," imbuhnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza menyatakan, pihaknya tengah memperkuat perlindungan pasar dan menarik investasi baru industri baja. Hal ini guna memenuhi kebutuhan domestik yang saat ini 55% dipenuhi impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga 2021, jumlah perusahaan yang terdaftar dengan Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KBLI) 24 untuk logam dasar ada 562 perusahaan. Kemudian, KBLI 25 barang logam, bukan mesin dan peralatannya, terdapat 1.592 perusahaan.
Wamenperin menyatakan, saat ini terdapat perbedaan signifikan antara konsumsi baja dengan produksi nasional, dan perbedaan tersebut diisi oleh 55 % impor yang mayoritas berasal dari China.
Adapun untuk produksi baja, Indonesia menempati peringkat 14 dunia di tahun 2024 yaitu sebesar 18 juta ton, naik 110% dari 2019. Total produksi baja kasar dunia pada 2024 sebanyak 1,884 miliar ton, dimana China merupakan produsen terbesar dengan produksi baja kasar sebanyak 1,005 miliar ton (53,3% produksi dunia). Disusul oleh India dengan total sebanyak 149,4 juta ton (7,9% produksi dunia).
Pengaturan Impor
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Ahmad Labib mendesak Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mengevaluasi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 16 Tahun 2025, tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor guna melindungi industri dalam negeri.
Dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, Labib menyebut, aturan dalam Permendag tersebut berpotensi menimbulkan dampak risiko banjir produk impor akibat pelonggaran prosedur. Selain itu, menurutnya, sejumlah pasal dalam Permendag Nomor 16 Tahun 2025 membuka celah penyalahgunaan izin impor dan berisiko melemahkan daya saing nasional.
“Saat ini banyak indikasi celah yang bisa dimanfaatkan untuk merusak pasar domestik, khususnya di sektor gula dan produk manufaktur. Oleh karena itu, Komisi VI DPR RI mendesak Kemendag untuk melakukan evaluasi ulang dan menunda pemberlakuan pasal-pasal yang berisiko sampai ada mitigasi yang memadai,” tuturnya.
Selain risiko banjir produk impor, Labib juga menyoroti potensi munculnya kembali praktik “mafia impor” yang kerap memanfaatkan lemahnya sistem verifikasi dan pengawasan izin. Lebih jauh, ia juga menilai Permendag Nomor 16 Tahun 2025 belum sepenuhnya siap diimplementasikan karena koordinasi antarkementerian masih lemah.
Menurutnya, perlu ada sinkronisasi teknis antara Kemendag, Kemenperin, Kementerian Keuangan (Bea Cukai), hingga Kementerian Pertanian agar tidak menimbulkan kebijakan yang saling bertabrakan. “Tanpa koordinasi lintas instansi, aturan ini justru berisiko menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” ujarnya.
Maka dari itu, anggota komisi DPR yang membawahi bidang perdagangan, kawasan perdagangan serta pengawasan persaingan Usaha, dan BUMN itu mendorong agar pemerintah segera mengambil langkah korektif agar pelaksanaan Permendag Nomor 16 Tahun 2025 tidak menimbulkan kerugian lebih luas.
Ia mendorong dilaksanakannya kajian cepat (rapid assessment) untuk menilai dampak sosial-ekonomi, khususnya terhadap industri yang terdampak langsung.
Selain itu, Labib juga menekankan pentingnya penguatan sistem pengawasan OSS/INATRADE agar transparansi data izin impor mulai dari NIB, API, hingga HS Code benar-benar terjamin dan terbebas dari praktik perantara ilegal.
Tidak kalah penting, ia menegaskan, proteksi bagi produk-produk strategis seperti gula, tekstil, dan bahan kimia tetap harus dipertahankan sampai kapasitas produksi domestik pulih sepenuhnya. Komisi VI DPR RI, kata dia, akan segera memanggil jajaran Kemendag untuk menjelaskan data pendukung lahirnya Permendag tersebut.
Selain itu, DPR juga akan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan asosiasi petani, pelaku industri, hingga akademisi. “Jika diperlukan, DPR tidak menutup kemungkinan mendorong revisi atau bahkan pencabutan pasal-pasal yang merugikan. Kami ingin pastikan kebijakan impor sejalan dengan kepentingan nasional,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar