Periskop.id - Publik kini disuguhi sebuah paradoks ekonomi yang kian membingungkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kabar gembira, produksi beras nasional hingga Oktober 2025 diperkirakan mencapai 31,04 juta ton, jauh melampaui kebutuhan konsumsi nasional yang hanya 27,3 juta ton, menyisakan surplus sekitar 3,7 juta ton. Angka ini bahkan 12,16 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Kementerian Pertanian (Kementan) pun berbangga, mengklaim Indonesia berada di jalur menuju swasembada.

Namun, di tengah klaim surplus dan tren positif tersebut, kenyataan di pasar sangat pahit. Harga beras terus merangkak naik, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang baru ditetapkan. Menurut data Bapanas, Kamis (23/10), harga beras medium di Zona 3 misalnya, telah mencapai Rp16.448 per kg, jauh melampaui HET terbaru yang seharusnya maksimal Rp15.500 per kg.

Mengapa anomali ini terjadi? Ketika stok melimpah, harga seharusnya turun. Ternyata, akar permasalahan utamanya bukan pada ketersediaan, melainkan pada tata kelola dan mekanisme pasar yang terdistorsi oleh kebijakan.

Jebakan Inpres dan Ancaman Mutu

Biang kerok utama yang memperkeruh situasi adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025. Inpres ini menugaskan Perum Bulog untuk melakukan pengadaan besar-besaran, hingga 3 juta ton beras dari dalam negeri.

Meskipun bertujuan baik untuk mengamankan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), instruksi ini berimplikasi ganda yang berbahaya. Pertama, sebagian besar surplus beras langsung terserap oleh Bulog, sehingga stok yang tersedia bagi pelaku swasta di pasar menjadi terbatas. Akibatnya, stok nasional mencetak rekor, tetapi stok yang beredar di pasar ritel tetap minim, memicu kenaikan harga karena kelangkaan buatan (artificial scarcity).

Kedua, Inpres No. 6/2025 juga berpotensi mengancam kualitas beras nasional. Inpres tersebut mewajibkan Bulog membeli beras dari petani dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp6.500 per kg untuk Gabah Kering Panen (GKP) dengan segala kualitas.

Klausul “dengan segala kualitas” ini memanjakan petani untuk memanen dini dan menjual gabah berkualitas rendah dengan kadar air tinggi. Petani diuntungkan, namun kualitas beras di pasaran akan menurun secara struktural dalam jangka panjang. Seharusnya, Bulog hanya bertindak sebagai penyelamat (buffer) saat harga jatuh di bawah HPP, bukan sebagai pemburu gabah di saat harga sedang tinggi, yang justru memicu kenaikan harga lebih lanjut.

Kegagalan SPHP dan Sidak yang Kontraproduktif

Masalah ini diperparah oleh penyaluran beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang lamban dan tidak efektif. Target Bapanas adalah menyalurkan 1,5 juta ton beras SPHP. Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, realisasi penyaluran beras SPHP baru mencapai 32,83 persen (sekitar 492,5 ribu ton). Program yang seharusnya menjadi penyeimbang harga ini tidak kunjung deras di pasar.

Selain keterlambatan, kegiatan inspeksi mendadak (sidak) oleh Satgas Pangan ke gudang pedagang dan penggilingan padi, meski bermaksud baik, justru berisiko kontraproduktif. Kegiatan ini memicu ketakutan di kalangan pedagang, yang akhirnya memilih berhenti beroperasi ketimbang terjerat masalah hukum. Aktivitas perdagangan terhenti, stok tertahan, dan harga semakin liar.

Relaksasi dan Guyuran ke Grosir

Pemerintah harus segera melakukan koreksi kebijakan dengan dua langkah strategis, yakni:

  1. Relaksasi Penyaluran SPHP: Skema distribusi SPHP yang ketat untuk mencegah penyelewengan harus direlaksasi (dengan pengawasan) agar penyaluran bisa berjalan cepat, mencapai target 1,5 juta ton, dan langsung mendinginkan pasar.
  2. Fokuskan Operasi Pasar ke Grosir: Operasi pasar SPHP harus diarahkan untuk mengguyur beras ke pedagang grosir/penyalur, bukan langsung ke konsumen akhir.

Pasar memiliki mekanisme berjenjang: produsen grosir pedagang eceran konsumen. Jika pemerintah memasok lebih banyak ke grosir, stok di tingkat penyalur akan naik, yang secara alamiah akan menekan harga jual ke pedagang eceran dan akhirnya turun ke konsumen.

Penyaluran langsung ke konsumen hanya memberikan solusi sementara, boros secara administrasi, berisiko penyalahgunaan, dan yang paling krusial, dapat mengganggu mekanisme pasar dengan memicu lonjakan permintaan yang justru memperburuk kelangkaan.

Misteri surplus yang mahal ini harus segera diakhiri. Presiden perlu mencabut klausul "segala kualitas" dalam Inpres dan menginstruksikan Bulog mengubah orientasi dari pemburu gabah menjadi penyelamat harga di pasar. Hanya dengan pasar yang bebas dari distorsi kebijakan, harga beras dapat kembali ke akal sehat.