periskop.id - Jika ada daerah yang mencerminkan ironi antara kekayaan alam dan kemiskinan moral birokrasi, mungkin jawabannya adalah Riau. Provinsi di jantung Sumatera ini dikenal dengan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari minyak bumi, gas, sawit, hingga hutan tropis. Namun, di balik gemerlap potensi ekonominya, Riau justru memegang predikat yang tak membanggakan, yaitu sebagai provinsi paling korup di Indonesia.

Mengapa bisa begitu? Yuk kita bedah lebih dalam!

Dari Tanah Kaya ke Juara Korupsi Nasional

Riau bukan provinsi kecil. Sumbangan ekonominya besar bagi negara, terutama dari sektor minyak dan perkebunan sawit. Namun, data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) justru menunjukkan wajah lain. Pada tahun 2024, Riau menempati posisi pertama provinsi paling korup di Indonesia, dengan 76 tersangka kasus korupsi sepanjang tahun.

Tak berhenti di situ, Kejaksaan Tinggi Riau (Kejati Riau) juga mencatat 43 perkara korupsi sepanjang 2024, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp126 miliar.

Ironinya, angka-angka tersebut muncul di tengah gencarnya promosi pemerintah tentang pembangunan berkelanjutan dan reformasi birokrasi. Seolah ada dua wajah Riau, satu yang tampak makmur di atas kertas dan satu lagi yang diselimuti praktik kecurangan di balik meja kekuasaan.

Bukan Kasus Baru, Tapi Pola yang Berulang

Jika ditarik ke belakang, ini bukan pertama kalinya Riau mencatatkan prestasi kelam dalam hal korupsi. Hingga tahun 2025, empat gubernur Riau telah terjerat kasus korupsi, dari masa ke masa dengan pola yang hampir sama, yaitu penyalahgunaan kekuasaan, proyek fiktif, dan gratifikasi jabatan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan di Riau bukan sekadar perilaku individu, tetapi sudah mengakar dalam sistem birokrasi dan politik lokal. Seperti lingkaran setan, pejabat datang dan pergi, tapi modusnya tetap sama.

Mengapa Korupsi di Riau Sulit Diberantas?

Ada beberapa alasan kuat mengapa korupsi di Riau begitu sulit diberantas, meski sudah ada lembaga seperti KPK dan Kejati yang aktif menindak.

  1. Biaya politik yang tinggi.
    ICW menyoroti bahwa ongkos politik di daerah ini sangat besar. Kandidat kepala daerah harus mengeluarkan dana besar untuk maju ke pemilihan dan ketika terpilih, ada dorongan kuat untuk mengembalikan modal melalui jalur yang tidak sah.
  2. Kelemahan sistem pengawasan internal.
    Banyak proyek yang masih rawan dimanipulasi, baik melalui mark up anggaran, rekayasa lelang, maupun SPPD fiktif. Padahal, Riau sudah memiliki sistem e-budgeting, tapi implementasinya seringkali hanya formalitas tanpa transparansi penuh.
  3. Budaya birokrasi yang permisif.
    Korupsi dianggap hal biasa di kalangan pejabat daerah. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan keterlibatan kolektif antar pejabat di lembaga yang sama.

Kaya Alam, Tapi Tak Membawa Kemakmuran

Ironi terbesar dari semua ini yaitu Riau yang kaya sumber daya justru gagal menyejahterakan warganya secara merata. Kekayaan minyak dan sawit memang meningkatkan pendapatan daerah, tapi kebocoran anggaran akibat korupsi membuat pembangunan berjalan lambat.

Indeks Pencegahan Korupsi Daerah (IPKD) 2024 mencatat, nilai nasional berada di angka 76, tapi aspek pengadaan barang dan jasa hanya meraih skor 68, indikasi lemahnya tata kelola di level daerah.

Hasilnya bisa kita lihat di lapangan, mulai dari infrastruktur yang belum merata, angka kemiskinan pedesaan yang masih tinggi, dan kualitas pendidikan yang tertinggal dibanding provinsi lain di Sumatera.

Harapan: Dari Kesadaran ke Perubahan

Meski situasinya tampak suram, bukan berarti harapan itu hilang. Pemerintah daerah bersama KPK sebenarnya telah melakukan berbagai inisiatif, seperti peningkatan transparansi anggaran, digitalisasi proses lelang, dan pembentukan whistleblowing system di sejumlah dinas.

Namun, perubahan sejati baru akan terjadi ketika masyarakat ikut aktif mengawasi, media berani mengungkap, dan budaya birokrasi mulai bergeser dari “asal aman” menjadi “berintegritas”.