periskop.id - Dalam beberapa bulan terakhir, wacana tentang pembagian peran antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung naik daun. Sebagian pihak membaca fenomena ini sebagai “tukar guling kewenangan”, pihak lain menyebutnya evolusi alami sistem penegakan hukum.
Di tingkat publik, survei menunjukkan kepercayaan terhadap Kejaksaan melonjak, sementara KPK tampak kehilangan pijakan citra yang dulu kuat.
Lalu, ketika dua lembaga besar bergerak berlawanan arah dalam hal citra dan kewenangan, siapa sesungguhnya yang sedang memegang kendali atas proyek besar pemberantasan korupsi?
Fakta Lapangan: Siapa yang Lebih Sibuk?
Laporan kinerja Kejaksaan Agung menunjukkan peningkatan beban kerja di ranah tindak pidana khusus (pidsus) dengan laporan terakhir mencatat penanganan lebih dari 2.316 perkara korupsi sepanjang 2024 dan hasil penyelamatan keuangan negara yang dilaporkan mencapai sekitar Rp44,13 triliun. Angka-angka menunjukkan bahwa Kejaksaan kini memainkan peran sangat aktif dalam kasus-kasus korupsi yang bernilai besar.
Di sisi lain, KPK juga masih menunjukkan konsistensi dalam tugas penindakan, dengan lebih dari 400 kasus yang ditangani setiap tahunnya. Statistik resmi KPK mencatat 477 penindakan pada 2020, meningkat hingga mencapai 654 pada 2023, kemudian turun menjadi 516 penindakan pada 2024. Di tahun lalu, estimasi kerugian negara yang berhasil diungkap meningkat mencapai Rp279,9 triliun.
Namun, fokus dan pola kasus yang diambil KPK terlihat berubah dalam beberapa periode terakhir. Hal ini terlihat pada jumlah kasus kelas “big fish” menurun, sementara perkara level desa hingga pejabat eselon bawah justru semakin sering muncul. Penindakan KPK untuk kasus kelas atas (Anggota DPR dan DPRD, Kepala Lembaga/Kementerian, Duta Besar, Komisioner, Gubernur, Walikota/Bupati dan Wakil) di tahun 2022 sebanyak 53 kasus sementara untuk kasus kecil (Eselon I, II, III, IV, Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, Swasta, Korporasi, dan Lain-lain) sebanyak 96 kasus. Di tahun 2023 hanya terdapat 15 kasus kelas besar dan 146 kasus kelas kecil. Lalu, di tahun 2024 ditemukan sebanyak 31 kasus kelas besar dan 123 kasus kelas kecil. Pola OTT pun bergeser, tetap terjadi, tetapi lebih banyak di daerah dan jarang menyentuh elite nasional.
Sementara itu, laporan hasil pemantauan tren korupsi dari ICW menunjukkan 364 perkara sepanjang 2024 dan estimasi kerugian negara yang sangat besar, situasi ini menunjukkan kompleksitas masalah yang tak bisa diselesaikan oleh satu lembaga saja.
Dari Angka ke Aksi: Perubahan Peran atau Sekadar Persepsi?
Angka-angka Kejaksaan yang impresif berperan besar dalam membentuk narasi publik sebagai lembaga yang mampu menuntaskan perkara besar cenderung mendapat poin kepercayaan yang tinggi.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (2025) menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada Kejaksaan sebesar 76%, menempatkan Kejaksaan di atas KPK. Kepercayaan publik yang tinggi dapat menjadi modal politik yang memperkuat posisi Kejaksaan dalam lanskap antikorupsi.
Kejaksaan terlihat semakin serius dalam menangani perkara korupsi, hal ini dibuktikan dari pengungkapan sejumlah kasus besar dan meningkatnya pemulihan kerugian negara.
Jaringan strukturalnya yang menjangkau daerah juga membuat penanganan kasus lebih cepat karena tidak harus menunggu instruksi pusat.
Kinerja Kejaksaan dinilai menguat, tetapi konsistensi dan akuntabilitas tetap menjadi kunci untuk menjaga kualitas penegakan hukumnya.
Dari Kerja Sama hingga Rebutan Kasus
Kondisi ketika KPK dan Kejaksaan Agung berjalan hampir sejajar bisa membuka tiga skenario sekaligus, yaitu mulai dari sinergi yang solid, tumpang tindih kewenangan, atau persaingan citra yang justru mengaburkan tujuan utama memberantas korupsi demi kepentingan publik.
Idealnya, KPK berfungsi sebagai motor pencegahan dan pengawas kebijakan, sementara Kejaksaan fokus pada penuntutan dan eksekusi putusan. Namun, kenyataannya tidak selalu mulus, konflik administratif, budaya lembaga yang berbeda, dan proses koordinasi yang berbelit bisa memicu kasus “serah terima” (take-over) perkara.
Dalam kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin muncul tuduhan politisasi atau strategi manuver institusional terutama jika keharmonisan fungsi antikorupsi justru dikorbankan demi kekuatan satu pihak.
Pada akhirnya, pertanyaan besarnya bukan lagi siapa yang paling kuat, tetapi apa yang harus diperkuat agar kerja pemberantasan korupsi benar-benar berpihak pada publik. Agar dua lembaga ini tidak terjebak dalam persaingan simbolik, beberapa langkah mendesak perlu ditempatkan sebagai prioritas bersama.
Pertama, koordinasi harus menjadi fondasi. Selama mekanisme perpindahan perkara antarlembaga masih kabur, potensi gesekan akan terus muncul. Dibutuhkan protokol yang jelas, mulai dari siapa yang berhak memulai, kapan sebuah perkara boleh dipindahkan, hingga bagaimana penyelesaian konfliknya dilakukan.
Kedua, indikator kinerja perlu dibangun ulang. Ukuran keberhasilan tidak cukup dihitung dari tumpukan perkara atau jumlah operasi tangkap tangan. Hal yang lebih penting adalah berapa banyak kasus yang tuntas sampai inkracht, kualitas putusan yang dihasilkan, serta seberapa besar aset negara yang berhasil dipulihkan. Publik berhak menilai lembaga dari kualitas kerja, bukan sekadar kuantitas statistik.
Ketiga, transparansi harus dibuka selebar mungkin. Setiap putusan strategis, termasuk alasan alihpenanganan perkara harus dijelaskan kepada publik. Keterbukaan semacam ini bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada ruang untuk spekulasi politik, terutama dalam kasus-kasus besar yang menyedot perhatian nasional.
Terakhir, pencegahan korupsi harus kembali ke panggung utama. Selama ini, fokus publik lebih tertarik pada penindakan, padahal akar masalah justru berada pada sistem yang rentan. KPK dan instansi lain perlu didorong memperkuat fungsi pencegahan dengan perbaikan regulasi, audit kebijakan, hingga pembenahan prosedur yang membuka celah penyimpangan. Ketika sistem diperbaiki, kerugian negara dapat dicegah jauh sebelum kasus besar terjadi.
Menyusun Agenda Bersama Demi Publik
Perebutan narasi antara KPK dan Kejaksaan sejatinya bukan soal siapa lebih unggul, melainkan soal siapa yang lebih mampu melindungi kepentingan publik, seperti pemulihan aset, penegakan hukum yang adil, dan pencegahan korupsi sistemik.
Masyarakat butuh dua hal sekaligus, yaitu efektivitas penindakan dan ketangguhan pencegahan. Oleh karena itu, alih-alih menonton duel institusional, kita perlu mendorong tata kelola bersama yang jelas, akuntabel, dan terukur. Dengan begitu, agenda antikorupsi nasional tidak menjadi arena pertarungan citra, melainkan proyek kolektif untuk menyelamatkan kepentingan publik.
Membangun ekosistem antikorupsi yang sehat bukan hanya soal memperkuat satu lembaga, tetapi memastikan bahwa seluruh komponen bekerja dalam ritme yang sama dengan transparan, terkoordinasi, dan berorientasi pada kualitas.
Tinggalkan Komentar
Komentar