periskop.id - Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam menjaga ruang digital dari ancaman disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK) yang dinilai merusak sendi-sendi demokrasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Angga Raka Prabowo, menyampaikan hal ini dalam diskusi bersama Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, di Jakarta, Selasa (26/8).
“Ini merusak sendi-sendi demokrasi. Misalnya, kita mau menyampaikan satu aspirasi, menyampaikan satu pendapat, tetapi tiba-tiba di sosial media dibumbui atau ditambahkan dengan informasi-informasi yang tidak sesuai, itu kan merusak semangat kita untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi kita,” ujar Angga mengutip Antara, Rabu (27/8).
Ia menyoroti bagaimana manipulasi informasi di media sosial dapat menghambat partisipasi publik yang sehat.
Angga mengimbau seluruh pihak, termasuk pengelola platform media sosial, untuk aktif melakukan verifikasi dan menjaga integritas ruang digital.
Ia menekankan bahwa platform harus memiliki sistem otomatis yang mampu mendeteksi dan menindak konten DFK tanpa menunggu laporan manual.
“Jika ada konten-konten yang isinya sudah jelas-jelas masuk dalam kategori DFK, platform harus secara by system, secara otomatis menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.
Pemerintah pun mengundang pengelola TikTok Asia Pasifik dan Meta, yang menaungi Facebook dan Instagram untuk berdialog mengenai penanganan konten bermasalah.
Namun, platform X (dulu Twitter) menjadi sorotan karena tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia.
“Kita harus sampaikan ke publik bahwa platform X itu tidak punya kantor di Indonesia. Seharusnya mereka juga patuh terhadap hukum-hukum yang berlaku di Tanah Air,” kata Angga.
Latar belakang desakan ini tak lepas dari meningkatnya kasus penyebaran hoaks politik, manipulasi opini publik, dan serangan digital menjelang tahun pemilu.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa konten DFK sering kali dimanfaatkan untuk membentuk narasi palsu, memecah belah masyarakat, dan memengaruhi persepsi terhadap tokoh atau kebijakan tertentu. Pemerintah menilai bahwa penanganan DFK tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi juga kolaborasi lintas sektor.
“Kita tidak ingin diadu domba dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi,” ujarnya.
Kepala PCO Hasan Nasbi turut menyoroti peran media arustama dalam menangkal DFK. Ia mengapresiasi media yang telah memiliki kanal cek fakta, karena menurutnya jika satu atau dua pihak saja, tak cukup untuk menangkal konten DFK.
Hasan mendorong media lain yang belum memiliki kanal serupa untuk segera mengembangkan fitur verifikasi mandiri.
PCO juga mengingatkan bahwa tanpa upaya kolektif, masyarakat bisa terjebak dalam fenomena KJR (knee-jerk reaction), yaitu respons spontan terhadap informasi yang belum diverifikasi. Fenomena ini kerap dimanfaatkan oleh influencer atau pemengaruh yang menyebarkan opini tanpa landasan data.
Dalam konteks global, Indonesia bukan satu-satunya negara yang menekan platform digital untuk bertanggung jawab. Uni Eropa, India, dan Australia juga telah mengeluarkan regulasi ketat terkait moderasi konten dan transparansi algoritma. Namun, tantangan terbesar tetap pada platform yang tidak memiliki kantor lokal, sehingga sulit dijangkau oleh sistem hukum nasional.
Tinggalkan Komentar
Komentar