periskop.id - Di negara tropis seperti Indonesia, warna kulit sawo matang merupakan hal yang lazim. Namun, di tengah keberagaman itu, komentar seperti, “Kulit kamu eksotis, bule pasti suka,” masih sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. Sekilas terdengar sebagai pujian, tapi sebenarnya mengandung bias halus yang menempatkan standar kecantikan pada pandangan orang asing.
Menurut ZAP Beauty Index 2024, mayoritas perempuan Indonesia masih menganggap kulit putih sebagai standar kecantikan. Hal ini diperkuat oleh iklan dan media dengan promosi produk pemutih yang menjanjikan rasa percaya diri dan kesuksesan.
Joanne Rondilla dari University of California, Berkeley, menjelaskan bahwa perempuan Filipina menghadapi tekanan serupa. Mereka merasa kulit yang lebih terang dianggap lebih menarik, tekanan yang masih muncul dari pengaruh kolonial dalam budaya dan persepsi sosial. Laporan dari Harvard International Studies menyebut fenomena ini sebagai occidentalisation of beauty, yaitu kecenderungan meniru standar kecantikan Barat.
Industri pemutih kulit tumbuh besar. Menurut Global Industry Analysts, nilainya lebih dari USD 8 miliar per tahun. Produk-produk ini paling laris di negara-negara bekas jajahan seperti India, Nigeria, Filipina, dan Indonesia.
Penelitian dari berbagai negara menunjukkan bahwa kulit gelap sering dipandang dengan cara yang bertentangan. Di satu sisi, banyak orang luar negeri menganggapnya menarik. Namun di sisi lain, kulit gelap masih jarang ditampilkan secara positif di media atau industri kecantikan. Ia sering diabaikan, bahkan dianggap kurang ideal.
Di Indonesia, ungkapan seperti “tan skin idaman bule” menunjukkan bahwa kita sering merasa cantik kalau orang asing menganggapnya begitu. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai colorism, yaitu perlakuan berbeda terhadap orang berdasarkan warna kulit, biasanya lebih menguntungkan mereka yang berkulit terang. Bias ini punya akar sejarah panjang, terutama dari masa kolonial, dan terus diperkuat oleh media global yang lebih sering menampilkan wajah-wajah berkulit terang.
Menurut Rondilla, masalah warna kulit bukan cuma soal penampilan, tapi juga soal kekuasaan dan identitas. Karena itu, gerakan merayakan warna kulit gelap di berbagai negara bisa dilihat sebagai usaha untuk melawan standar lama dan menciptakan definisi kecantikan yang lebih adil dan beragam.
Kenapa Kulit Tropis Cenderung Sawo Matang
Warna kulit manusia sangat dipengaruhi oleh jumlah melanin, yaitu pigmen yang berfungsi melindungi tubuh dari sinar ultraviolet (UV). Di daerah tropis seperti Indonesia, sinar matahari bersinar hampir sepanjang tahun. Tubuh manusia yang tinggal di lingkungan seperti ini secara alami memproduksi lebih banyak melanin sebagai bentuk perlindungan. Inilah sebabnya mengapa orang-orang di wilayah tropis cenderung memiliki kulit yang lebih gelap atau sawo matang.
Menurut artikel “Skin: The Science of Melanin” dari National Geographic, kulit gelap adalah hasil adaptasi evolusioner yang cerdas. Melanin membantu menyerap dan menghambat dampak sinar UV yang bisa menyebabkan kanker kulit dan kerusakan jaringan. Sebaliknya, di wilayah dengan sinar matahari rendah, seperti Eropa Utara, kulit terang berkembang agar tubuh bisa menyerap cukup vitamin D.
Keinginan Untuk Diterima
Kita ingin dianggap cantik karena manusia secara alami punya kebutuhan untuk diterima dan dihargai. Dalam psikologi, ini disebut sebagai kebutuhan sosial. Ketika seseorang merasa dirinya menarik, ia cenderung lebih percaya diri dan merasa lebih aman dalam lingkungan sosialnya.
Namun, masalah muncul ketika standar kecantikan yang berlaku tidak mencerminkan keberagaman. Di negara tropis seperti Indonesia, kulit sawo matang adalah hal yang umum. Namun, karena pengaruh kolonialisme dan media global, warna kulit terang sering dijadikan patokan utama untuk cantik. Akibatnya, banyak orang berkulit sawo matang merasa harus menyesuaikan diri agar bisa diterima. Ini bisa terjadi di lingkungan kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.
Menurut Psychology Today, persepsi terhadap kecantikan sangat dipengaruhi oleh budaya dan media. Ketika media terus menampilkan wajah berkulit terang sebagai simbol sukses dan ideal, orang yang tidak masuk dalam kategori itu bisa merasa kurang. Bukan karena mereka tidak cantik, tapi karena standar yang berlaku tidak memberi ruang bagi keberagaman.
Kulit sawo matang sering berada di posisi yang rumit. Di mata sebagian orang luar, ia dianggap menarik dan eksotis. Tapi di dalam negeri sendiri, ia sering kurang dihargai. Maka, keinginan untuk dianggap cantik bisa berubah menjadi tekanan untuk memenuhi standar yang tidak mencerminkan identitas kita.
Mencintai Diri Sendiri Lewat Self Love dan Self Acceptance
Di tengah tekanan sosial dan standar kecantikan yang sempit, mencintai diri sendiri menjadi langkah penting yang sering terlupakan. Banyak perempuan berkulit sawo matang tumbuh dengan pemikiran bahwa kulit mereka kurang ideal.
Self love berarti menyayangi diri sendiri tanpa syarat. Bukan hanya menerima penampilan fisik, tapi juga menghargai siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita bertumbuh. Self acceptance adalah kemampuan untuk berdamai dengan diri sendiri. Termasuk menerima bagian-bagian yang selama ini dianggap tidak sesuai standar.
Ketika kita mulai mencintai dan menerima kulit sawo matang kita, kita sedang membebaskan diri dari kebutuhan untuk terus membuktikan bahwa kita cukup. Kita tidak lagi bergantung pada penilaian orang lain atau standar kecantikan yang tidak mewakili kita. Kita mulai membangun definisi cantik yang lebih jujur, lebih luas, dan lebih manusiawi.
Menerima kulit sawo matang bukan berarti menolak perubahan. Namun, hal itu menunjukkan keberanian untuk berkata bahwa aku cukup bahkan ketika dunia bilang sebaliknya.
Tinggalkan Komentar
Komentar