Periskop.id - Dalam pembahasan anggaran negara, istilah neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan keseimbangan primer seringkali muncul bersamaan dan menimbulkan kebingungan. Bahkan, seringkali angka yang dihasilkan oleh dua indikator ini bertolak belakang. Ketika neraca APBN menunjukkan defisit, namun keseimbangan primer menunjukkan surplus.

Kenapa bisa terjadi perbedaan? Ternyata, kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda dan sama-sama penting untuk mengukur kesehatan fiskal suatu negara. Mari kita bedah secara sederhana perbedaan antara keduanya.

Apa Itu Neraca APBN?

Neraca APBN adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi total belanja negara. Angka ini mencerminkan posisi APBN (surplus atau defisit) dalam anggaran pemerintah setelah semua pengeluaran dihitung, termasuk biaya bunga utang yang harus dibayar.

Misalnya, hingga Agustus 2025, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa APBN Indonesia tercatat mengalami defisit sebesar Rp321,6 triliun. Angka ini adalah cerminan total kekurangan dana setelah pemerintah membayar semua belanjanya, termasuk bunga utang dari pinjaman di masa lalu.

Apa Itu Keseimbangan Primer?

Berbeda dengan defisit APBN, sebagaimana yang diungkap dalam laman Media Keuangan Kemenkeu, keseimbangan primer adalah hasil perhitungan antara pendapatan negara dan belanja negara, tanpa memasukkan pembayaran bunga utang. Jika pendapatan lebih besar dari belanja (tanpa bunga utang), maka disebut surplus primer. Sebaliknya, jika belanja lebih besar, maka terjadi defisit primer.

Hingga Agustus 2025, tercatat adanya surplus keseimbangan primer sebesar Rp22 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa pendapatan negara, yang berasal dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan sumber lainnya, sebenarnya sudah cukup untuk membiayai belanja pokok pemerintah seperti gaji pegawai, pembangunan infrastruktur, subsidi, dan lain-lain, tanpa perlu berutang lagi.

Kenapa Keduanya Bisa Berbeda?

Perbedaan utama antara neraca APBN dan keseimbangan primer terletak pada komponen bunga utang yang besar. Bayangkan pendapatan negara sudah mencukupi untuk semua kebutuhan rutin dan pembangunan. Namun, ketika beban bunga utang dari masa lalu dimasukkan ke dalam perhitungan, beban anggaran otomatis bertambah besar.

Inilah yang membuat defisit APBN tetap terjadi, meskipun pemerintah sudah mampu menghasilkan surplus primer. Surplus primer adalah sinyal positif yang menunjukkan bahwa pemerintah sudah "hidup dari pendapatan sendiri" untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu, defisit APBN mencerminkan total minus yang harus ditanggung, yang salah satu penyebab terbesarnya adalah kewajiban pembayaran bunga utang lama.

Analogi Sederhana

Untuk lebih mudah memahaminya, bayangkan Anda memiliki gaji bulanan sebesar Rp10 juta.

  • Biaya hidup dan kebutuhan rutin Anda sebesar Rp9 juta. Ini berarti Anda masih memiliki sisa Rp1 juta (surplus keseimbangan primer).
  • Namun, Anda juga memiliki cicilan bunga utang sebesar Rp2 juta.
  • Setelah membayar cicilan tersebut, Anda akhirnya tetap ‘nombok’ Rp1 juta (defisit APBN).

Dengan demikian, defisit APBN sebesar Rp321,6 triliun mencerminkan total kekurangan setelah memperhitungkan bunga utang, sedangkan surplus primer Rp22 triliun menunjukkan bahwa pemerintah secara fundamental sudah mampu membiayai kebutuhan pokoknya, hanya saja masih terbebani oleh bunga utang yang menumpuk dari tahun-tahun sebelumnya.