periskop.id - Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) kembali memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 3,75%–4%. ‎Melihat langkah tersebut, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede mengatakan pasar global merespons pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 bps dengan sikap yang bercampur antara lega dan hati-hati.

‎Dia menjelaskan, pasar merasa lega karena biaya dana dolar menurun dan The Fed akan menghentikan penyusutan neraca mulai 1 Desember sehingga ketegangan likuiditas USD berkurang.‎Namun, menurutnya, sikap hati-hati tetap muncul karena Powell menegaskan adanya risiko dua arah dan keputusan berikutnya akan sepenuhnya bergantung pada data ekonomi yang masuk.

‎"Kami mencatat DXY naik sekitar setengah persen dan imbal hasil UST 10 tahun menanjak sekitar 10 bps usai rapat, sementara pada sesi Asia gerak itu sebagian terkoreksi ketika pasar mencerna penghentian pengetatan neraca yang berpotensi memperbaiki likuiditas dolar," kata Josua kepada Periskop ID, Kamis (30/10).

‎Dia menyebut pernyataan Powell tentang kondisi pasar tenaga kerja yang mendingin, inflasi yang masih agak tinggi, serta keputusan untuk menghentikan runoff sambil mengalihkan pelunasan agensi ke T-bill menjadi kunci untuk membaca arah sentimen aset global dalam beberapa pekan mendatang.

‎Josua menambahkan arah kebijakan The Fed ke depan paling tepat dibaca sebagai dovish-prudent, bukan dovish penuh. Menurutnya, di satu sisi, pemotongan suku bunga secara beruntun dan rencana penghentian runoff merupakan isyarat pelonggaran kebijakan.

‎"Pada satu sisi, pemotongan beruntun dan rencana menghentikan runoff adalah isyarat pelonggaran," tambahnya.

‎Namun di sisi lain, Josua menjelaskan bahwa Powell menegaskan tidak ada jalur kebijakan yang sudah dipatok, sementara risiko inflasi jangka pendek masih cenderung ke arah kenaikan, terutama karena adanya faktor tarif yang dapat mendorong harga sejumlah barang.

Dia menambahkan pernyataan Powell mengenai pemangkasan suku bunga Desember yang belum menjadi kepastian menunjukkan bahwa FOMC masih terbelah dan memilih menunggu bukti tambahan dari perkembangan pasar tenaga kerja serta inflasi jasa sebelum mengambil keputusan berikutnya.

‎"Dengan demikian, base case yang masuk akal adalah jeda atau pelonggaran yang lebih pelan, dengan sensitivitas tinggi terhadap data tenaga kerja dan inflasi dua bulan ke depan," tutup Josua.