periskop.id - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menjelaskan bahwa penurunan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) akan memicu dampak dua fase terhadap nilai tukar rupiah. Menurutnya, rupiah akan mengalami pelemahan terbatas dalam jangka pendek sebelum berpotensi menguat secara bertahap.

"Kami mencatat rupiah sempat melemah ringan pada sesi pagi setelah pengumuman, sejalan dengan penguatan dolar global, sebelum stabil ketika pasar menimbang manfaat penghentian runoff terhadap likuiditas USD," kata Josua kepada Periskop, Kamis (30/10).

Pernyataan ini merespons keputusan The Fed yang kembali memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) ke level 3,75%–4,00%. Langkah ini menandai pelonggaran kebijakan moneter pertama sejak pertengahan tahun, yang didorong oleh melambatnya inflasi dan meningkatnya risiko ketenagakerjaan di Amerika Serikat.

Josua menilai, dalam jangka sangat pendek, penguatan dolar AS dan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS (UST) pasca-rapat memang mendorong pelemahan terbatas rupiah. Volatilitas diperkirakan meningkat, terutama menjelang rilis data tenaga kerja AS.

Namun, ia memproyeksikan rupiah berpotensi menguat secara bertahap ketika pasar mulai menilai tekanan terhadap dolar AS mereda dan peluang pelonggaran moneter pada 2026 masih terbuka.

Penguatan ini, lanjutnya, didukung oleh diferensial suku bunga riil Indonesia yang tetap positif serta cadangan devisa yang dinilai memadai.

Josua pun memperkirakan nilai tukar rupiah pada akhir 2025 akan berada di kisaran Rp16.386 per dolar AS, yang mencerminkan proses normalisasi bertahap.

"Kami memperkirakan nilai tukar rupiah akhir tahun 2025 di kisaran 16.386 per dolar, mencerminkan normalisasi bertahap dan terkendalinya tekanan eksternal sepanjang 2025," jelas dia.

Tak hanya rupiah, imbal hasil obligasi Indonesia juga diprediksi mengikuti pola serupa. Awalnya, yield akan naik merespons pergerakan UST, lalu berangsur turun ketika pasar mencerna sinyal berakhirnya pengetatan neraca The Fed.

Pihaknya memperkirakan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun akan menuju 6,14% pada akhir 2025, turun dari posisi sekitar 7,00% pada akhir 2024.

"Secara taktis, tekanan yang muncul pasca-FOMC biasanya paling terasa di tenor 5–10 tahun yang paling sensitif pada gerak UST; peluang akumulasi strategis cenderung muncul saat yield mengembang sesudah rilis data besar AS," tutup Josua.