periskop.id - Di tengah kondisi fiskal yang ketat dan tekanan ekonomi yang meningkat, kebijakan penyertaan modal negara menjadi perhatian publik. Salah satunya berkaitan dengan suntikan dana sebesar Rp23,67 triliun dari Danantara ke Garuda Indonesia.
Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyampaikan bahwa langkah tersebut perlu ditinjau dari sisi prioritas dan efektivitas kebijakan publik. Ia menyoroti bahwa penyertaan modal dalam jumlah besar kepada perusahaan yang tengah berupaya memperbaiki fundamental keuangannya perlu dikaji secara menyeluruh, baik dari aspek ekonomi maupun tata kelola.
"Garuda bukan sekali mendapat 'napas buatan' dari negara. Namun, tiap kali disuntik modal atau direstrukturisasi utangnya, tidak pernah disertai reformasi struktural yang serius. Model bisnisnya tetap tidak efisien, beban utang menumpuk, dan tata kelola sering kali dipertanyakan," kata Ronny kepada Periskop, Selasa (18/11).
Akibatnya, suntikan modal negara dinilai berisiko menjadi moral hazard karena memberi sinyal bahwa kerugian besar akan selalu ditanggung oleh negara melalui Danantara. Kondisi ini juga mencerminkan kebergantungan perusahaan pada intervensi pemerintah tanpa proses pemulihan yang mandiri.
"Bagi Danantara sendiri, keputusan ini tampak tidak sejalan dengan semangat pembentukan lembaga tersebut, yang seharusnya mengelola aset negara secara komersial dan produktif, bukan menjadi 'kantong cadangan' untuk menalangi BUMN yang gagal bersaing," tegasnya.
Ia menambahkan, apabila tujuan Danantara adalah meningkatkan nilai aset negara, maka investasinya semestinya diarahkan pada sektor dengan potensi return dan multiplier effect yang jelas, bukan pada entitas yang terus membutuhkan bantuan tanpa menunjukkan perbaikan kinerja sama sekali. Suntikan ini juga menunjukkan belum adanya disiplin fiskal dan akuntabilitas korporasi di lingkungan BUMN.
"Dalam konteks ekonomi hari ini, di mana likuiditas global mengetat dan pemerintah perlu berhati-hati mengelola pembiayaan, kebijakan seperti ini justru kontraproduktif dan berpotensi membebani anggaran negara di masa depan," papar Ronny.
Ia melanjutkan, maskapai Garuda memang memiliki nilai simbolik sebagai maskapai nasional yang mewakili identitas Indonesia di kancah global. Namun, aspek simbolisme tersebut perlu diimbangi dengan penerapan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan.
"Jika Garuda ingin diselamatkan, maka penyelamatan kali ini seharusnya berbasis reformasi menyeluruh, bukan sekadar injeksi dana tanpa arah yang jelas," tutupnya.
Sebelumnya, BPI Danantara melalui Danantara Asset Management (DAM) telah menyuntikkan dana sebesar Rp23,67 triliun dari total Rp30 triliun yang direncanakan. Managing Director DAM, Febriany Eddy, menegaskan bahwa realisasi yang belum mencapai target tersebut tidak berkaitan dengan berkurangnya komitmen perusahaan dalam membantu perseroan.
"Saya tegaskan di sini, tidak ada yang berkurang. Danantara akan mendukung Garuda sepenuhnya," kata Febriany dalam acara Coffee Morning Danantara, Jakarta, Jumat (14/11).
Febriany menegaskan, komitmen membantu perusahaan pelat merah itu buka diberikan secara gratis. Pihaknya berkomitmen untuk mengawal secara langsung.
Tinggalkan Komentar
Komentar