Periskop.id – Kasus pagar laut di Desa Segarajaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sampai hari ini belum jelas kelanjutannya. Meski Bareskrim Polri telah menetapkan sembilan orang tersangka terkait dugaan pemalsuan sertifikat tanah di kawasan tersebut, hingga kini proses hukum dinilai belum menunjukkan perkembangan berarti.
Para tersangka yang terdiri dari mantan kepala desa, kepala desa aktif, perangkat desa, hingga petugas ukur dan operator komputer belum ditahan. Polisi beralasan para tersangka masih kooperatif, sementara berkas perkara masih dalam tahap koordinasi antara penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Agung.
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho, menilai lambannya kelanjutan perkara ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. “Jangan sampai kasus ini berhenti hanya di penetapan tersangka. Publik menunggu kepastian hukum yang tegas, apalagi menyangkut aset negara dan akses masyarakat nelayan,” kata Hardjuno dalam keteranganya di Jakarta, Rabu (17/9).
Menurutnya, aparat penegak hukum perlu memastikan konstruksi perkara yang jelas agar tidak menimbulkan tafsir berbeda. Jika terdapat potensi kerugian negara, kasus ini sebaiknya diproses sebagai tindak pidana korupsi.
“Kalau hanya diperlakukan sebatas pemalsuan dokumen, rasa keadilan masyarakat bisa terganggu. Karena pagar laut ini nyata-nyata menghambat akses publik,” ujarnya.
Belum Tegas
Hardjuno menjelaskan, konstruksi perkara saat ini masih mengerucut pada dua jalur: pemalsuan dokumen sertifikat dan potensi tindak pidana korupsi. Pemalsuan dokumen terlihat dari perubahan objek dan subjek pada sertifikat hak milik (SHM) yang kemudian diagunkan ke bank.
Sementara dugaan korupsi muncul karena praktik tersebut berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara, sekaligus merugikan masyarakat luas yang kehilangan akses laut.
Namun, hingga kini belum ada kesepahaman antara penyidik dan jaksa terkait pasal yang paling tepat diterapkan. “Perbedaan tafsir inilah yang membuat berkas perkara berulang kali bolak-balik. Tarik-menarik konstruksi hukum seperti ini justru bisa memperlambat penyelesaian kasus dan melemahkan pesan keadilan,” kata Hardjuno.
Secara normatif, kasus pagar laut Bekasi seharusnya dapat segera dilanjutkan ke tahap persidangan. “Berdasarkan KUHAP, peran penyidik dan jaksa memang berbeda, tetapi keduanya wajib berkoordinasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Hardjuno.
Ia menambahkan, apabila unsur pemalsuan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP telah terpenuhi, maka berkas perkara dapat diproses sebagai tindak pidana umum. “Tetapi kalau ada penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara, Undang-Undang Tipikor harus diprioritaskan sebagai lex specialis,” lanjutnya.
Hardjuno juga menekankan, masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum. “Koordinasi intensif antara Polri dan Kejaksaan perlu segera dilakukan agar tidak timbul kesan kasus ini berlarut tanpa arah. Prinsipnya, keadilan tidak boleh tertunda, karena penundaan hanya akan memperburuk kepercayaan publik,” kata Hardjuno.
Ia pun mengingatkan kasus ini menyangkut tata kelola lahan pesisir yang strategis. “Ini bukan sekadar sengketa sertifikat. Kasus pagar laut Bekasi harus menjadi momentum membenahi tata kelola lahan pesisir agar lebih transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat kecil,” tandasnya.
Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkapkan alasan tidak menahan sembilan orang tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan 93 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pagar laut Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Tak Ada Kesepahaman
Sekadar mengingatkan, dalam kasus pagar laut Bekasi, penyidik Dittipidum Bareskrim Polri menetapkan sembilan tersangka. Para tersangka itu adalah MS selaku mantan Kepala Desa (Kades) Segarajaya, dan AR (Abdul Rosyid) selaku Kades Segarajaya periode tahun 2023 sampai sekarang.
Kemudian JM selaku Kasi Pemerintahan di Kantor Desa Segarajaya, Y serta S selaku staf di Kantor Desa Segarajaya, AP selaku ketua tim support PTSL, GG selaku petugas ukur pada tim support PTSL, MJ selaku operator komputer, dan HS selaku tenaga pembantu pada tim tersebut
April lalu, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan, tidak dilaksanakannya penahanan itu lantaran belum ada kesepahaman antara Dittipidum Bareskrim Polri dengan Kejaksaan Agung, dalam memandang kasus pagar laut.
“Dikarenakan para tersangka kooperatif dan belum ada kesepahaman antara penyidik dan Kejaksaan dalam melihat konstruksi perkara pagar laut,” tuturnya.
Adapun ketidaksepahaman yang dimaksud Brigjen Pol. Djuhandhani adalah terkait kasus pagar laut Tangerang, yakni dugaan tindak pidana pemalsuan surat terkait dengan penerbitan 263 SHGB dan 17 SHM Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.
Dalam prosesnya, jaksa penuntut umum (JPU) pada Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), mengembalikan berkas yang telah diserahkan Dittipidum dengan petunjuk agar penyidikan perkara ini ditindaklanjuti ke ranah tindak pidana korupsi.
Lalu, Dittipidum Bareskrim Polri menyerahkan kembali berkas tersebut kepada Kejagung dengan alasan bahwa berkas yang dikirim telah terpenuhi unsur secara formal dan materiel. Selain itu, mereka menyebut, unsur tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut telah diselidiki oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri.
Akan tetapi, berkas tersebut dikembalikan lagi oleh JPU dengan alasan petunjuk yang terdahulu belum dipenuhi penyidik. Juga meminta agar kasus pagar laut Tangerang itu ditangani oleh Kortastipidkor Polri mengingat ditemukannya unsur tindak pidana korupsi. Dengan demikian, berkas kasus pagar laut Tangerang saat ini masih berada di pihak Dittipidum Bareskrim Polri.
.
Tinggalkan Komentar
Komentar