periskop.id - Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dikenal sebagai salah satu pusat industri terbesar di Indonesia. Ribuan hektare kawasan industri di wilayah ini menjadi rumah bagi pabrik-pabrik otomotif, elektronik, hingga manufaktur kelas dunia. 

Secara logika ekonomi, keberadaan ekosistem industri seperti ini seharusnya mendorong terbukanya lapangan kerja luas bagi masyarakat setempat. Namun, realitasnya tidak selalu seindah ekspektasi. 

Di balik deru mesin pabrik dan geliat investasi, peluang kerja untuk warga lokal masih jauh dari optimal. Persaingan yang ketat dengan pencari kerja dari luar daerah membuat tenaga kerja lokal kerap tersisih, terutama bagi mereka yang hanya mengandalkan keterampilan umum.

Mengutip Antara, Kamis (28/8), data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Karawang mencapai 8,04%, didominasi lulusan SMA dan SMK. Angka ini kontras dengan lonjakan investasi yang terjadi di daerah tersebut. 

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi di Karawang sepanjang 2024 mencapai Rp68 triliun, naik tajam dari Rp42,1 triliun pada 2023.

Lonjakan investasi itu tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Karawang mencatat, pada semester I 2022 hanya 4.524 orang yang terserap kerja. 

Pada triwulan III 2023, dari 1.934 proyek investasi, serapan tenaga kerja hanya 4.314 orang. Bahkan pada Januari–Juni 2025, meski investasi mencapai Rp30,24 triliun, tenaga kerja yang terserap hanya 12.209 orang, jauh di bawah Kabupaten Bekasi dan Bogor.

Salah satu penyebab utama rendahnya serapan adalah karakter investasi yang masuk ke Karawang. Mayoritas merupakan investasi padat modal, yang lebih mengandalkan mesin dan teknologi otomatis dibanding tenaga kerja manusia. Tren otomasi ini sejalan dengan penerapan industri 4.0 di sektor otomotif dan elektronik yang memang menjadi dominan di Karawang.

Selain itu, banyak perusahaan multinasional membawa tenaga kerja terampil dari luar Karawang untuk mengisi posisi strategis, baik teknis maupun manajerial. 

Kesenjangan keterampilan (skill gap) antara lulusan lokal dan kebutuhan industri modern menjadi faktor krusial. Data Kementerian Ketenagakerjaan 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% lulusan SMK di Indonesia tidak langsung bekerja sesuai bidang keahliannya.

Dari sisi kebijakan, belum adanya regulasi yang mengikat terkait prioritas tenaga kerja lokal juga membuat peluang kompetisi terbuka lebar bagi pekerja luar daerah. Dalam konteks industri padat modal, perusahaan cenderung memilih tenaga kerja dengan keterampilan spesifik yang siap pakai, tanpa harus mengalokasikan waktu dan biaya untuk pelatihan dasar.

Pemerintah daerah sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya, mulai dari program link and match pendidikan vokasi, job fair rutin, pelatihan kerja di Balai Latihan Kerja (BLK), hingga peluncuran platform Info Loker Karawang yang telah menyalurkan lebih dari 13 ribu pencari kerja ke industri. 

Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun menguji coba platform digital ketenagakerjaan untuk mempertemukan data pencari kerja dan lowongan secara daring.

Meski begitu, strategi ini belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan investasi yang mayoritas padat modal. Tanpa intervensi kebijakan yang tegas, kombinasi otomasi industri, skill gap, dan minimnya prioritas tenaga kerja lokal akan membuat jurang ketimpangan ini semakin lebar.

Karawang kini menghadapi dilema khas daerah industri: pertumbuhan ekonomi yang impresif tetapi tidak inklusif bagi masyarakatnya.