Periskop.id- Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo memastikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tidak mengendap di perbankan.

“Jadi, secara prinsip karena memang APBD DKI ini kami kontrol terus-menerus, kita tidak ada masalah karena memang di DKI sangat dinamis dan untuk itu nggak ada yang mengendap sama sekali lah,” kata Pramono di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Lusiana Herawati memaparkan, dana yang tersimpan di rekening kas daerah bukan sisa anggaran, melainkan dana yang masih menunggu jadwal pencairan.

“Jadi, tersimpan di Bank DKI, di rekening kas daerah. Jadi, tidak bisa disampaikan seperti mengendap. Karena pada saat nanti minggu depan ada belanja, itu nanti akan kita keluarkan. Jadi, masih dalam koridor yang wajar,” ujar Lusiana.

Menurut dia, percepatan pengadaan barang dan jasa sudah dilakukan sepanjang 2025. Kegiatan lainnya kini hanya menunggu Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Setelah APBD Perubahan diketok, maka seluruh anggaran segera dicairkan.

“Tentu saja, dengan adanya ini sebentar lagi kan APBD perubahan juga diketok. Nanti pada saat sudah diketok, maka kita akan kucurkan semua,” ujar Lusiana.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan menembus rekor tertinggi sejak lima tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan pemda lambat dalam membelanjakan anggarannya.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan hingga akhir Agustus 2025, dana pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp233,11 triliun. “Bisa jadi ini ada perlambatan karena pergantian kepemimpinan. Juga ada perlambatan karena kebijakan pencadangan yang kita keluarkan lewat Inpres 1 2025,” ujarnya. 

119 Pemda

Berdasarkan bahan paparan Kemenkeu, pemda di Pulau Jawa yang paling banyak mengendapkan dana di bank. Sebanyak 119 pemda menaruh dana di bank dengan total mencapai Rp84,77 triliun atau 36,37% dari total dana pemda di perbankan. 

Jika dirinci, belanja pegawai di daerah sampai 31 September 2025 tercatat sebesar Rp281 triliun, turun 1,5% dibanding setahun yang lalu yang tercatat sebesar Rp285,2 triliun. Selanjutnya, belanja barang dan jasa yang dilakukan pemda terealisasi sebesar Rp170,1 triliun, turun 10,6% dari sebelumnya Rp190,2 triliun di 31 September 2024. 

Sedangkan untuk belanja modal juga turun 32,6% menjadi Rp44,9 triliun dari sebelumnya Rp66,5 triliun di periode yang sama tahun lalu. Adapun untuk belanja lainnya, terealisasi menjadi Rp128,4 triliun, atau turun 30,7% dibanding setahun sebelumnya sebedsar Rp185,3 triliun. 

Jumlah TKD yang meningkat dan terkontraksinya belanja Pemda membuat jumlah dana pemda di perbankan pun meningkat di akhir Agustus 2025 menjadi Rp233,11 triliun. Di akhir Agustus 2024, dana pemda di perbankan tercatat Rp192,57 triliun. 

“Karena itu kami berharap pemerintah daerah akan belanja lebih cepat di dalam sisa waktu 3 bulan ke depan,” imbuhnya. 

Daerah, lanjutnya, perlu terus di dorong untuk akselerasi belanja agar APBD mampu memberikan stimulus bagi perekonomian nasional. “Jadi kita berharap, daerah akan terus mendorong akselerasi belanja agar APBD mampu memberikan stimulus bagi perekonomian di daerah bersama-sama dengan APBN,” ucapnya. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menilai, dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan hingga Agustus 2025 sebesar Rp233,11 triliun menunjukkan kurang cermatnya pengelolaan anggaran daerah.

“Sangat disayangkan, mestinya uang bisa berputar di bawah, bukan disimpan (di perbankan saja). Ini tanda kurang cermatnya pengelolaan anggaran dan kurang cepatnya tender dijalankan,” kata Dede Yusuf