Periskop.id - Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) menilai, pelarangan merokok di tempat hiburan malam dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak relevan.

Ketua Umum Asphija Kukuh Prabowo berpendapat, konsumen yang mengakses tempat hiburan malam sudah pasti berusia 21 tahun ke atas. Karena itu, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengonsumsi produk tembakau.

"Bahkan, untuk akses masuknya juga harus berbayar. Jadi artinya, orang-orang yang masuk memang adalah orang dewasa yang mengonsumsi produk untuk usia dewasa," kata Kukuh di Jakarta, Selasa (25/11). 

Dia juga memandang pihak legislatif terkesan sangat memaksakan perumusan Raperda KTR. Apalagi di tengah kondisi sosial ekonomi yang sedang sulit dan berdampak pada beratnya usaha hiburan malam.

Oleh sebab itu, dia menyampaikan aspirasi Asphija tersebut kepada DPRD DKI Jakarta. Ia berharap, tidak lahir peraturan yang memberatkan usaha hiburan dan pekerja di dalamnya, terlebih keberadaan usaha hiburan merupakan salah satu kontributor terbesar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Jika pelarangan tetap diberlakukan melalui Raperda KTR, maka hal ini akan menimbulkan kerugian bagi pemerintah maupun pelaku usaha swasta. Kita harap ini tidak kejadian," ujar Kukuh.

Senada dengan Asphija, Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Berdasarkan survei internal, sekitar 50% bisnis hotel di Jakarta akan terdampak jika Raperda KTR disahkan.

Anggota BPD PHRI Arini Yulianti menilai, kebijakan itu berpotensi menurunkan tingkat kunjungan ke hotel dan restoran, serta mengurangi pendapatan daerah.n“Hotel dan restoran menyumbang lebih dari 600 ribu lapangan kerja dan 13 % PAD Jakarta. Kalau merokok dilarang total, dampaknya luas dan bisa menggerus ekonomi daerah,” ucap Arini.

Menurut data PHRI DKI Jakarta pada April 2025, sebanyak 96,7% hotel melaporkan penurunan tingkat hunian. Dampaknya, pelaku usaha terpaksa melakukan efisiensi, termasuk pengurangan karyawan. Arini pun berharap, aturan tersebut membuat demand bisnis restoran dan hotel semakin menurun.

PKL dan Pedagang Pasar

Sejatinya, protes tak hanya datang dari pelaku bisnis hiburan malam, para pedagang kaki lima, pedagang pasar dan pedagang warteg jga memprotes kebijakan tersebut. Mereka bahkan sempatmembentangkan spanduk yang menolak pasal larangan penjualan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (20/11) lalu, 

Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, pihaknya tegas menyatakan penolakan terhadap pasal-pasal pelarangan penjualan yang difinalisasi Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD DKI Jakarta.

“Pasal larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, sampai perluasan kawasan tanpa rokok di pasar rakyat, sama saja dengan menghilangkan mata pencaharian pedagang pasar yang semakin hari semakin tergerus," kata Ngadiran.

Diketahui, Pemerintah Jakarta memiliki 153 pasar yang dikelola Perumda Pasar Jaya. Dari jumlah itu, 146 pasar masih aktif operasional, sementara tujuh pasar lainnya telah dialihfungsikan. Adapun pedagang tercatat sebanyak 110.480 orang.

“Ada seratus ribuan pedagang yang terdampak langsung dengan larangan-larangan Raperda KTR ini. Pedagang itu kan aset pasar yang harusnya dilindungi, diberdayakan," ujarnya.

APPSI pun mendesak Pemprov dan DPRD DKI Jakarta agar pasar tradisional atau pasar rakyat dikecualikan dari kategori “Tempat Umum” dalam penerapan KTR secara total.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Ali Mahsun menyampaikan permohonannya agar Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, segera meninjau ulang dan menunda pengesahan Raperda KTR.

Ali menyebut pihaknya menolak pasal-pasal yang mengatur jual beli rokok di dalam Raperda KTR. "Baik itu jual rokok eceran maupun zonasi 200 meter dari sentra pendidikan, pelarangan pemajangan dan larangan merokok di area pasar, toko, dan rumah makan," tuturnya.

Pembatasan Bukan Larangan

Menanggapi gelombang protes, Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menjelaskan, Raperda KTR bukan melarang aktivitas merokok, tetapi pembatasan untuk para perokok, terutama di lingkungan pendidikan.

"Karena ini adalah lembaga pendidikan, calon-calon pemimpin masa depan yang harus steril. Yang kedua, untuk lembaga kesehatan dan lain-lain,” kata Khoirudin.
Khoirudin menegaskan, berjualan rokok tetap diperbolehkan di tempat-tempat tertentu seperti tempat hiburan dan kafe. Ia hanya menyatakan, jangan sampai kegiatan merokok para perokok bisa mengganggu kesehatan orang lain. 

"Kalau untuk berdagang, kan, masih boleh di tempat hiburan seperti itu ya," kata Khoirudin.

Sebelumnya, Pansus Raperda KTR DPRD DKI Jakarta memutuskan, pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak tetap dipertahankan dalam draft akhir. Tak hanya itu, Ketua Pansus KTR DPRD DKI Jakarta, Farah Savira mengatakan, tidak ada lagi ruang merokok di dalam ruangan tertutup (indoor smoking) dalam aturan ini.

Menurut Farah, ketentuan itu tidak dihapus karena memiliki landasan hukum yang kuat dan menjadi bagian dari upaya melindungi anak-anak dari akses mudah terhadap rokok.