periskop.id - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pidato Presiden RI di Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengandung kontradiksi.

Menurutnya, retorika mulia tentang kesetaraan dan perdamaian yang disampaikan di panggung dunia itu bertolak belakang dengan kebijakan konkret pemerintah, baik di dalam maupun luar negeri.

Usman menyoroti adanya kesenjangan antara narasi yang dibangun dengan tindakan yang diambil oleh Indonesia.

"Pidato presiden di PBB menyebut kesetaraan, keadilan, perdamaian, dan menawarkan 20.000 pasukan Indonesia untuk misi penjaga perdamaian. Retorika yang terdengar mulia itu berbanding terbalik dengan kebijakan luar dan dalam negeri dalam isu yang diangkat," kata Usman dalam keterangan resminya, Kamis (25/9/2025).

Secara khusus, Amnesty mengkritik sikap Indonesia terhadap konflik di Palestina. Usman menyayangkan Presiden tidak secara tegas menggunakan istilah "genosida" untuk menggambarkan situasi di sana, padahal PBB dan lembaga HAM internasional telah mengonfirmasi terjadinya kejahatan tersebut.

"Penggunaan kata 'catastrophe' oleh presiden untuk menjelaskan situasi Gaza berpotensi mengaburkan tanggung jawab Israel atas genosida. Penting bagi komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri genosida dan mengadili yang bertanggung jawab," tegasnya.

Menurut Amnesty, Indonesia seharusnya mengambil langkah yang lebih progresif. 

Beberapa tindakan yang disarankan antara lain mendesak Israel membongkar permukiman ilegal serta menghentikan perdagangan atau investasi dengan perusahaan yang berkontribusi pada pendudukan ilegal dan sistem apartheid. Langkah ini sejalan dengan Advisory Opinion Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024.

Kritik Usman tidak hanya menyasar kebijakan luar negeri, tetapi juga komitmen pemerintah di tingkat domestik. Ia menyinggung kembali kegagalan Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang bahkan hilang dari Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) kelima di era pemerintahan saat ini.

Pada akhirnya, Usman menekankan bahwa kredibilitas sebuah negara di mata internasional tidak dibangun dari pidato semata. 

"Pidato di PBB memang penting. Tapi kredibilitas Indonesia di mata dunia tidak ditentukan oleh pidato yang menggebu dan kata-kata indah, tapi tindakan nyata," ujarnya. Selain Palestina, ia juga mendorong Indonesia untuk membuat terobosan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat terhadap etnis Rohingya.

Dalam pidatonya di New York, Amerika Serikat, Presiden RI memang menyoroti komitmen Indonesia terhadap perdamaian dunia. Ia secara resmi menawarkan kontribusi hingga 20.000 personel untuk misi penjaga perdamaian PBB dan menyerukan penguatan multilateralisme untuk mengatasi tantangan global. 

Terkait Gaza, Presiden menyebut situasi kemanusiaan di sana sebagai sebuah "bencana besar" atau catastrophe.

Adapun Statuta Roma merupakan perjanjian yang mendasari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), sebuah lembaga yudisial independen yang berwenang mengadili individu atas kejahatan paling serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Indonesia telah menandatangani statuta ini namun belum meratifikasinya hingga sekarang.