periskop.id - Kabar duka datang dari dunia advokasi dan HAM Indonesia. Johnson Panjaitan, sosok advokat senior dan pejuang hak asasi manusia, meninggal dunia pada Minggu, 26 Oktober 2025 akibat pendarahan otak. Ia wafat di usia 59 tahun.

Profil Johnson Panjaitan

Johnson Panjaitan lahir pada 11 Juni 1966 di Jakarta. Menurut dokumentasi 1996 silam di kantor PDIP, Johnson berkata, “Saya biasa dipanggil Sotar,” ujarnya. “Sotar berarti tak terduga, karena bagi orang Batak punya anak pertama laki-laki adalah hal yang tidak terduga.” Nama Johnson sendiri diambil dari pamannya.

Lelaki Batak ini tumbuh besar di Cawang, Jakarta Timur, menikmati masa kecil sederhana dengan bermain bola, mandi di kali, dan bermain bersama teman-temannya. Semasa remaja, ia tak luput dari kenakalan remaja. Johnson sempat ikut mabuk-mabukan dan terlibat perkelahian. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, Johnson pernah ditangkap polisi saat masih SMA dan ditahan di Polsek Cililitan lantaran memukuli kawannya sendiri. Ia juga terlibat dalam peristiwa Lapangan Banteng Kelabu, 1982, saat kampanye Golkar berakhir dengan kerusuhan.

Akibatnya, ia mendapat hukuman keras dari orangtuanya. “Badan sudah capek dan lapar, masih digebuki oleh orangtua dan tidak dikasih makan,” kenangnya. Pengalaman masa kecil dan remaja ini membentuk karakter Johnson yang keras, gigih, dan berani menghadapi tekanan.

Karir Johnson Panjaitan

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini memulai kariernya sebagai Asisten Pembela Umum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tahun 1988 hingga 1990, membela masyarakat miskin dan korban pelanggaran HAM.

Pada tahun 1995, Johnson ikut mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), kemudian menjabat sebagai ketua organisasi tersebut. Johnson menangani berbagai kasus berprofil tinggi, termasuk Kasus 27 Juli 1996 di kantor PDIP Jalan Diponegoro, advokasi pelanggaran HAM di Timor Leste, Aceh, dan Papua, serta pembelaan tahanan politik seperti Xanana Gusmao.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia yang merupakan salah seorang rekan dari Johnson menuliskan dalam akun Instagramnya,

“Saya mengenal Johnson ketika saya masih menjadi aktivis mahasiswa di Usakti. Saat itu kami meminta PBHI ikut membantu pengusutan penembakan mahasiswa 12 Mei 1998. Saat itu, Johnson sedang gelar konferensi pers terkait pembelaannya pada Xanana Gusmao.”

Kiprah Johnson tidak lepas dari risiko. Ia kerap hadir di tengah-tengah ancaman. Kantor PBHI dan KONTRAS pernah diserang, mobilnya ditembak, tetapi semua itu tidak pernah menciutkan nyalinya. Ia dikenal sebagai sosok advokat yang gigih, pemberani, dan adil bagi korban pelanggaran HAM. Bahkan, saat menjalani transplantasi ginjal, adiknya yang berkorban untuknya menunjukkan persaudaraan sejati di luar profesi.

Usman menambahkan, “Johnson kalau lagi melawan seperti punya nyawa sembilan. Dia mencintai keadilan. Adil kepada korban, adil kepada kawan. Satu-satunya sikap tidak adil dari Johnson barangkali kepada dirinya sendiri, karena dia kurang istirahat.”

Johnson dikabarkan mengalami pendarahan pada saraf otak dan kritis selama 4-5 hari sebelum wafat pada pukul 07.33 WIB, 26 Oktober 2025. Jenazah Johnson Panjaitan disemayamkan di Rumah Duka RS UKI Cawang, Jakarta Timur, sebelum dimakamkan di TPU Pondok Kelapa pada Minggu sore.

Sepak Terjang Johnson dalam Mengawal Kasus Hukum

Johnson dikenal sebagai advokat strategis dan berani. Beberapa kasus penting yang ia tangani antara lain:

  • Kasus penembakan mahasiswa 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Jakarta.
  • Kasus 27 Juli 1996 di kantor PDIP, Jalan Diponegoro.
  • Pembelaan tahanan politik Xanana Gusmao di Timor-Timur.
  • Kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, termasuk penanganan tragedi Semanggi I & II.

Selain itu, ia sering hadir sebagai mediator dan penasihat hukum dalam sengketa yang melibatkan aparat dan masyarakat sipil. Johnson menjadikan integritas, keberanian, dan konsistensi dalam advokasi HAM sebagai prinsip hidupnya.

Warisan Johnson Panjaitan tetap hidup melalui PBHI, berbagai kasus yang pernah ditanganinya, dan semangatnya dalam membela hak asasi manusia di Indonesia.

“Dedikasi dan keberaniannya menjadi teladan bagi generasi penerus pejuang hak asasi manusia di Indonesia dan kawasan. Semoga semangat perjuangan almarhum terus hidup dalam setiap upaya membela mereka yang tertindas,” tulis PBHI pada Minggu (26/10/2025).

“Selamat jalan, Jhonson Panjaitan. Jasa dan pengabdianmu akan selalu dikenang,” tambahnya.