Periskop.id - Proyek ambisius Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang dirancang untuk menggantikan Jakarta, kini menghadapi ketidakpastian besar menyusul pemotongan anggaran dan perubahan status di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Tiga tahun setelah diluncurkan, kekhawatiran muncul bahwa IKN dapat bertransformasi menjadi "kota hantu" yang megah.

Dilansir dari The Guardian, Rabu (29/10), meski gedung-gedung futuristik dan jalan raya lebar sudah terbentang, kawasan inti IKN masih tampak sepi, hanya diisi oleh pekerja konstruksi dan wisatawan.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, dukungan pendanaan negara untuk proyek IKN mengalami pemotongan signifikan. Anggaran negara untuk IKN turun lebih dari separuh, dari £2 miliar pada 2024 menjadi £700 juta pada 2025. Alokasi untuk tahun depan diprediksi hanya £300 juta, sepertiga dari yang diajukan. Investasi swasta juga masih kurang lebih dari £1 miliar dari target.

Prabowo sendiri, yang hingga kini belum pernah mengunjungi Nusantara sebagai presiden, secara diam-diam telah menurunkan status kota tersebut menjadi ‘ibu kota politik’ pada Mei, meski keputusan itu baru diumumkan ke publik pada September.

Dukungan Politik dan Kondisi di Lapangan

Kemunduran proyek ini semakin terasa setelah kepala dan wakil Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengundurkan diri pada 2024. Saat ini, baru sekitar 2.000 aparatur sipil negara dan 8.000 pekerja konstruksi yang tinggal di sana, jauh dari target 1,2 juta penduduk pada 2030.

Menurut Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, proyek ini sudah menjadi ‘kota hantu (ghost town)’ sejak awal, dan status baru sebagai ‘ibu kota politik’ tidak memiliki dasar hukum dalam sistem Indonesia.

“Ibu kota baru bukan prioritas bagi Prabowo. Secara politik, proyek ini seperti tidak mau mati tapi juga tidak bisa hidup,” kata Herdiansyah. 

Meskipun demikian, pihak internal proyek IKN tetap optimis. Basuki Hadimuljono, Kepala OIKN, membantah laporan tentang perlambatan dan kurangnya dukungan politik.

“Presiden Prabowo mengatakan kepada saya, ‘Ini komitmen saya untuk melanjutkan dan menyelesaikan proyek ini bahkan lebih cepat,’” ujar Basuki. 

Ia juga menegaskan bahwa dana pembangunan IKN tersedia dan cukup, namun sebagian dialihkan untuk proyek yang lebih strategis.

“Dananya ada, komitmen politiknya ada. Mengapa harus diragukan? Dana itu dialihkan, bukan dipotong,” Kata Basuki.

Dengan fokus utama pemerintah Prabowo yang beralih ke program lain, seperti makan siang gratis, sebagian pengamat memprediksi bahwa Nusantara mungkin akan berubah menjadi destinasi wisata ketimbang pusat pemerintahan yang hidup.

Dampak Ekonomi dan Lingkungan Lokal

Meski pemerintah dengan keras membantah, kelesuan proyek ini terasa langsung di sekitar kawasan IKN. Usaha kecil yang sempat berkembang pesat kini meredup.

Dewi Asnawati, pemilik toko dan penginapan kecil, mengungkapkan kepada The Guardian bahwa penurunan omzet secara drastis terjadi pada bisnisnya.

“Saat Jokowi masih presiden, kamar sewa saya selalu penuh. Sekarang, penghasilan saya turun separuh,” kata Dewi Asnawati.

Pengalaman serupa dialami pedagang lain, Syarariyah.

“Dulu laundry kami penuh setiap hari. Tapi setelah para pekerja pulang, semuanya berhenti. Banyak teman yang menutup usahanya. Orang khawatir tempat ini akan jadi kota hantu,” ungkapnya.

Bagi komunitas adat Balik yang tinggal di sekitar Sungai Sepaku, proyek IKN membawa gangguan besar. Banjir semakin parah, dan seorang petani serta nelayan lokal bernama Arman mengeluh hasil panennya turun setengah setelah dibangun pabrik pengolahan air di sungai.

“Air itu hanya mengalir ke IKN,” katanya, menambahkan bahwa puluhan keluarga kini tidak bisa lagi mengambil air dari sungai karena pencemaran dan bendungan baru.

Di sisi lingkungan, organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memperingatkan adanya potensi bencana ekologis. Organisasi ini memperkirakan lebih dari 2.000 hektare hutan mangrove telah ditebangi untuk proyek infrastruktur.

“Nusantara akan menjadi kawasan berpagar tinggi di mana orang menikmati segala fasilitas di dalamnya, sementara di luar kehidupan tetap sulit. Warga lokal kehilangan ekonomi dan lingkungan sekaligus,” kata Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Timur. 

Clariza, seorang wisatawan dari Sulawesi, berharap proyek ini berhasil.

“Bagi kami yang tinggal di kawasan timur, ibu kota di sini terasa lebih adil. Tempat ini juga terasa aneh dan sepi. Belum ada siapa-siapa di sini,” katanya.