periskop.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan alasan menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid (AW), dengan pasal pemerasan. KPK menolak menggunakan pasal penyuapan karena permintaan uang berasal langsung dari pejabat berwenang.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan bahwa pemerasan dilakukan oleh pihak yang memiliki jabatan dan kekuasaan.
“Kalau pemerasan itu yang aktif ini adalah pejabat (AW). Orang yang punya peran, orang yang punya jabatan tertentu, yang kemudian bisa dimanfaatkan jabatan itu sehingga dia bisa meminta sesuatu,” ujarnya.
Tanak menambahkan, permintaan dari pejabat biasanya diikuti karena adanya rasa takut.
“Ketika diminta, umumnya diikuti. Karena takut jangan sampai kalau tidak dikasih nanti dicopot jabatannya,” jelasnya dalam konferensi pers di Gedung KPK, Rabu (5/11).
Ia menegaskan perbedaan antara pemerasan dan penyuapan. Menurutnya, penyuapan terjadi ketika pihak yang tidak berkuasa memberikan sesuatu kepada penguasa agar permintaan terpenuhi.
“Nah, dalam konteks ini, ini inisiatif untuk mendapatkan anggaran dana itu dari gubernur. Dari seorang pejabat yang punya kewenangan. Kemudian, dia minta kepada stafnya atau bawahannya, kepada Kepala Dinas. Nah, hanya gubernur saja yang bisa melakukan hal itu,” ungkap Tanak.
KPK sebelumnya menetapkan AW sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan atau penerimaan hadiah di Pemerintah Provinsi Riau. Selain AW, dua orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka.
“KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid) selaku Gubernur Riau, MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau, dan DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Johanis Tanak.
Para tersangka diduga melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam pengungkapan kasus ini, KPK menyebut sejumlah Kepala UPT sampai harus meminjam uang ke bank demi memenuhi permintaan gubernur. Dana tersebut digunakan sebagai “jatah preman” untuk AW.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan keprihatinannya.
“Para Kepala UPT ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain. Jadi, ini yang sangat memprihatinkan,” katanya.
Asep menyoroti ironi di balik kasus ini.
“Uangnya enggak ada. Kalau defisit kan uangnya kurang. Jangan membebani pegawainya. Tapi ini kan ironi, di saat defisit anggaran belanjanya terganggu karena defisit itu, sementara (AW) malah minta sejumlah uang. Itu yang membuat kita sebetulnya prihatin,” tuturnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar