periskop.id - “Bukan saya yang viral, tapi nilai-nilai yang saya bawa.” —Dedi Mulyadi, 2021.
Kalimat itu mungkin terdengar biasa, tetapi maknanya dalam. Dedi Mulyadi bukan sekadar politisi atau Gubernur Jawa Barat. Ia juga jago membangun citra lewat media sosial.
Lewat YouTube, TikTok, dan Instagram, Dedi menghadirkan sisi politik yang berbeda, yaitu hangat, lucu, dan penuh empati. Ia membantu warga kecil, berbicara dengan bahasa Sunda, hingga menampilkan tradisi lokal. Namun, pernah enggak kamu penasaran kenapa kontennya terasa begitu dekat dengan rakyat?
Populisme Digital: Politik di Layar Smartphone
Di era digital, politik enggak lagi soal panggung besar dan spanduk. Sekarang, cukup lewat layar smartphone.
Menurut Cas Mudde dan Cristóbal Kaltwasser (2017), populisme adalah gaya politik yang berpihak pada rakyat dan menentang elite yang dianggap jauh dari kepentingan publik. Pemimpin populis biasanya berbicara dengan bahasa yang sederhana dan emosional agar terasa dekat dengan masyarakat.
Gaya komunikasi seperti inilah yang kemudian berkembang dan menemukan bentuk barunya di era media sosial. Di masa kini, muncul populisme digital, yaitu cara politisi membangun kedekatan lewat platform, seperti YouTube atau TikTok.
Dedi memanfaatkan itu dengan cerdas. Ia tampil bukan sebagai pejabat berjarak, tetapi teman ngobrol yang bisa nyambung dengan semua kalangan. Seperti kata Moffitt dan Tormey (2014), gaya ini termasuk political performance, yaitu cara pemimpin menampilkan diri sebagai “suara rakyat”.
Namun, ternyata komunikasi yang dekat saja belum cukup. Ada hal lain yang membuat gaya Dedi lebih menonjol, yakni personal branding.
Personal Branding: Politik yang Lebih Personal
Kalau populisme digital bicara soal strategi, personal branding bicara soal siapa dirimu di mata publik. Menurut Montoya dan Vandehey (2009), ini tentang membentuk persepsi orang lewat nilai, gaya bicara, dan tampilan yang konsisten.
Dedi melakukan itu dengan sangat khas. Ia konsisten tampil sebagai sosok Sunda yang sederhana dengan menggunakan baju adat, logat lokal, dan nilai budaya yang kuat. Bukan pencitraan kosong, tetapi cara menunjukkan empati dan kedekatan.
Enggak heran kalau banyak orang melihat Dedi sebagai bagian dari mereka, bukan pejabat yang berjarak.
Penelitian Universitas Padjadjaran tahun 2020 juga menemukan bahwa simbol budaya yang ia tampilkan memperkuat ikatan emosional dengan masyarakat lokal. Menariknya, gaya ini juga menghidupkan kembali tradisi politik lama, yaitu blusukan, tetapi dengan cara baru.
Dari Blusukan Lapangan ke Blusukan Digital
Ingat tradisi blusukan? Dulu, politisi turun langsung ke lapangan. Sekarang, cukup lewat konten. Dengan satu video, Dedi bisa menyapa jutaan orang sekaligus.
Ia membantu warga, bercanda dengan pedagang, sampai menegur dengan cara lucu. Bukan hanya menghibur, tetapi juga membangun kepercayaan dan simpati. Bisa dibilang, ia tidak menjual program, tetapi nilai dan pengalaman.
Namun, seiring populernya gaya ini, muncul juga sisi lain yang perlu diperhatikan.
Di Balik Popularitas Digital
Popularitas di media sosial memang membawa keuntungan besar. Namun, menurut Moffitt (2016), gaya populisme digital bisa membuat politik jadi terlalu fokus pada figur, bukan isi kebijakan.
Ketika konten lebih penting dari program, politik bisa berubah jadi sekadar tontonan. Dedi memang pernah bilang, media sosial membantunya menghemat anggaran publikasi karena semua konten ia buat sendiri. Menarik, tetapi tetap perlu dicek dengan data agar enggak sekadar narasi.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Cerita Dedi menunjukkan bahwa media sosial bukan cuma tempat hiburan, tetapi juga ruang baru untuk berpolitik. Ia menggabungkan digital populism untuk membangun kedekatan, dan personal branding untuk menjaga keaslian diri.
Kombinasi ini menciptakan citra pemimpin yang bukan hanya dikenal, tetapi juga dikenang. Meski begitu, kita tetap perlu kritis, apakah kedekatan digital ini benar-benar membuat politik lebih bermakna atau hanya permainan algoritma?
Sekarang, politik bukan lagi soal pidato megah di podium, tetapi tentang bagaimana pesan disampaikan dan dirasakan rakyat. Lewat kontennya yang sederhana dan kuat, Dedi berhasil membuktikan bahwa politik bisa hangat, ramah, dan manusiawi.
Tinggalkan Komentar
Komentar