Periskop.id - Pengampunan pajak atau tax amnesty adalah kebijakan yang digunakan banyak negara untuk mengembalikan aset yang disembunyikan di luar negeri, meningkatkan penerimaan negara, dan mendorong kepatuhan wajib pajak. Namun, realisasinya tidak selalu sama di setiap negara. Ada yang berhasil gemilang, ada yang berujung pada kegagalan, dan bahkan membuat pemerintah ‘kapok’.

Berikut adalah rangkuman dari berbagai sumber tentang pengalaman beberapa negara terapkan tax amnesty.

Amerika Serikat (AS)

Pelaksanaan tax amnesty di Amerika Serikat dilakukan lebih dari 18 kali di 41 negara bagian dalam kurun 1982–2012. Menurut Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), penerimaan yang diperoleh mencapai sekitar US$5,3 miliar.

Namun, hasil tersebut dianggap mengecewakan karena kontribusinya hanya rata-rata 0,74% dan tidak pernah melebihi 3% dari total penerimaan pajak negara bagian (Hari S. Luitel, Is Tax Amnesty a Good Tax Policy?, 2014).

Alhasil, pemerintah AS menerbitkan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA), sebuah aturan yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2013. FATCA menargetkan harta warga negara AS di seluruh dunia, termasuk investasi langsung maupun tidak langsung, untuk menanggulangi penghindaran pajak.

Afrika Selatan

Afrika Selatan, di sisi lain, melaksanakan pengampunan pajak sebanyak tiga kali (1995, 2003, dan 2006) dan dianggap berhasil karena pelaksanaannya didahului oleh rekonsiliasi politik yang mulus. Tujuan utama amnesti pajak di sana antara lain, mewajibkan penduduk patuh terhadap ketentuan exchange control, memfasilitasi pengembalian aset dari luar negeri, dan meningkatkan penerimaan pajak di masa mendatang.

Argentina

Argentina memiliki sejarah panjang tax amnesty. Pada 1987, pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak untuk mengatasi capital flight. Program ini membebaskan pajak atas penghasilan yang tidak dilaporkan jika digunakan untuk investasi bisnis. Namun, karena tidak ada penegakan hukum dan perubahan kode pajak, program tersebut dipandang gagal.

Menurut penelitian Gastón dkk. (2024) di jurnal Asociación Argentina de Economía Política, Argentina kembali melakukan tax amnesty pada 2016. Program ini berhasil menarik simpanan domestik setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan aset yang dilaporkan mencapai 21% dari PDB.

Pada 2024, melansir Reuters, program pengampunan pajak kembali diluncurkan dan berhasil menarik US$18 miliar masuk ke bank-bank lokal dalam beberapa bulan. Simpanan bank swasta dalam denominasi dolar naik menjadi US$32,5 miliar, sementara cadangan devisa ikut membaik. Meski begitu, diperkirakan sekitar US$277 miliar masih tersimpan di luar sistem formal.

India

India rutin menggelar tax amnesty pada 1952, 1965, 1975, 1981, 1985, 1986, 1991, hingga 1997. Namun, pengulangan yang terlalu sering justru menciptakan sentimen negatif di masyarakat.

Wajib Pajak berasumsi pemerintah akan terus memberikan pengampunan pajak di tahun-tahun berikutnya, sehingga kepatuhan pajak semakin terkikis. Akibatnya, rasio pajak terhadap PDB India stagnan di kisaran 11%, hanya sedikit lebih tinggi dari Indonesia.

Turki

Turki tercatat melaksanakan 29 kali tax amnesty sejak 1924 hingga 2016, rata-rata setiap dua hingga tiga tahun. Program terbaru pada 2016 memberi amnesti bagi aset yang tidak dilaporkan, termasuk uang tunai, emas, surat berharga, dan instrumen pasar modal.

Namun, karena terlalu sering dilakukan, tax amnesty di Turki dinilai tidak lagi menjadi pendekatan yang berkelanjutan.

Italia

Italia menjadi salah satu negara yang paling sering menggelar pengampunan pajak pada era modern. Sejak 1973, negara ini telah melaksanakan lima kali amnesti pajak, yakni pada 1973, 1982, 1991, 2003, dan 2009.

Dalam program 1982, pemerintah menargetkan penerimaan US$ 4,6 miliar, namun realisasi hanya US$700 ribu. Sementara pada 2009, amnesti mengenakan pajak tetap 5% atas aset yang direpatriasi, dengan total deklarasi mencapai €80 miliar dan menghasilkan €4 miliar. Meski besar, nilainya masih jauh dibanding perkiraan €500 miliar dana warga Italia di luar negeri.

Indonesia

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam melaksanakan tax amnesty, tercatat ada lima program sejak tahun 1964 hingga 2022.

  • Tax Amnesty 1964 dan 1984: Dilaksanakan di era Presiden Soekarno dan Soeharto.
  • Sunset Policy 2008: Memberikan kesempatan wajib pajak untuk memperbaiki laporan pajak tanpa sanksi. Hasilnya, sekitar 5,4 juta wajib pajak memanfaatkan kesempatan ini dan menghasilkan penerimaan tambahan Rp7,46 triliun.
  • Tax Amnesty Jilid I (2016-2017): Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2016, program ini berhasil menjaring lebih dari 956.000 wajib pajak dengan pengungkapan aset senilai Rp4.855 triliun. Meskipun demikian, komitmen repatriasi sebesar Rp146,6 triliun, namun realisasinya hanya Rp128,3 triliun.
  • Tax Amnesty Jilid II / Program Pengungkapan Sukarela (PPS) (2022): Dilansir dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, program ini berhasil menjaring 247.918 wajib pajak dan memperoleh penerimaan pajak sebesar Rp61,01 triliun dari pengungkapan harta bersih senilai Rp594,82 triliun.

Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa keberhasilan tax amnesty tidak hanya bergantung pada nominal yang dihasilkan, tetapi juga pada momentum, penegakan hukum yang menyertainya, dan persepsi masyarakat. Program yang berulang tanpa perbaikan sistem justru berpotensi mengikis kepatuhan pajak.