Periskop.id - Industri tembakau di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Meskipun berkontribusi signifikan pada penerimaan negara, industri ini menunjukkan tren penurunan volume produksi, sementara peredaran rokok ilegal kian marak.
Lantas, bagaimana rokok legal dan ilegal ini bisa beredar, dan mengapa keduanya tumpang tindih? Artikel ini akan mengupas tuntas rantai pasoknya.
Produksi Rokok Menurun, Pabrikan Gulung Tikar
Data dari Kementerian Keuangan yang dilaporkan oleh Universitas Brawijaya melalui laman resmi menunjukkan adanya penurunan volume produksi rokok. Pada tahun 2019, produksi mencapai 356,6 miliar batang, namun turun menjadi 334,8 miliar batang pada tahun 2021. Menurut Universitas Brawijaya, tren ini disebabkan oleh kenaikan tarif cukai, penyesuaian Harga Jual Ecer (HJE) minimum, dan simplifikasi cukai.
Penurunan volume produksi ini juga diiringi dengan banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar. Data mencengangkan menunjukkan bahwa pada tahun 2007, ada 4.793 pabrikan rokok di Indonesia, namun jumlahnya menyusut drastis hingga hanya tersisa 1.003 pabrikan pada tahun 2021.
Di sisi lain, peredaran rokok ilegal kian meningkat. Menurut Indodata Research Center yang dilansir oleh Antara, Jumat (21/2), data dari 2021 hingga 2024 memperlihatkan bahwa rokok ilegal peredarannya itu semakin meningkat dari 28% menjadi 46%. Maraknya rokok ilegal terutama rokok polos yang dominan ini diperkirakan kerugian negara Rp 97,81 triliun.
Empat Skema Utama Perdagangan Rokok Ilegal
Perdagangan rokok ilegal merupakan masalah global yang terus menggerogoti ekonomi negara dan mendanai aktivitas kriminal. Menurut National Academies Press, ada empat skema utama yang sering digunakan para pelaku kejahatan untuk meraup keuntungan dari bisnis gelap ini. Masing-masing skema ini memanfaatkan celah di berbagai fase rantai pasok rokok legal, mulai dari produksi hingga penjualan eceran.
- Bootlegging
Bootlegging atau penyelundupan skala kecil adalah skema paling sederhana, namun dampaknya tetap signifikan. Modus operandinya adalah membeli rokok secara legal di suatu wilayah—biasanya dengan harga dan pajak rendah, lalu membawanya untuk dijual kembali di wilayah lain tanpa membayar pajak tambahan yang berlaku.
Pelaku dapat mulai dari skala yang sangat kecil, hanya membeli beberapa bungkus rokok dari toko biasa (fase ritel). Namun, ada juga yang lebih terorganisasi, membeli dalam jumlah besar dari distributor grosir untuk mengoptimalkan keuntungan. Intinya, bootlegging mengeksploitasi perbedaan harga rokok yang disebabkan oleh disparitas pajak antar wilayah atau negara. - Penyelundupan Skala Besar
Berbeda dengan bootlegging yang beroperasi di fase ritel, penyelundupan skala besar terjadi di titik hulu rantai pasok. Pelaku mengalihkan rokok yang seharusnya bebas pajak—misalnya, rokok yang sedang dalam perjalanan untuk diekspor—ke pasar gelap. Rokok jenis ini diperoleh dalam jumlah besar langsung dari pabrik atau grosir yang melayani pasar internasional, di mana rokok belum dikenai pajak domestik.
Sering kali, para pelaku menggunakan perusahaan fiktif sebagai kedok untuk menerima pengiriman ekspor. Dokumen palsu digunakan untuk mengklaim bahwa rokok tersebut diekspor, padahal sebenarnya rokok tersebut dimasukkan langsung ke pasar domestik secara ilegal. Penyelundupan ini melibatkan truk atau kontainer yang memuat jutaan batang rokok, menguntungkan para pelaku dengan menghindari pajak sepenuhnya sejak awal. - Illicit Whites
Skema yang satu ini mungkin terdengar paradoks. Rokok yang diproduksi secara legal, namun memang sengaja dibuat untuk didistribusikan secara ilegal. Inilah yang disebut illicit whites atau kadang dijuluki cheap whites.
Rokok jenis ini memiliki merek yang unik atau bahkan tanpa merek sama sekali. Mereka diproduksi secara legal oleh pabrikan, tetapi tidak dikenai pajak karena tidak ditujukan untuk pasar domestik yang legal. Sebaliknya, rokok ini disalurkan langsung ke pasar gelap dalam jumlah besar. Struktur pasar ini mirip dengan penyelundupan skala besar, di mana pabrikan terlibat langsung dalam mengarahkan produk ke jalur ilegal, memotong pajak dan regulasi. - Produksi Ilegal
Skema terakhir, produksi ilegal, merupakan pembuatan rokok yang melanggar hukum dari awal. Ada dua bentuk utamanya:
- Produksi tanpa izin: Pembuatan rokok tanpa lisensi atau tidak melaporkan sebagian besar produksinya untuk menghindari pajak (undeclared/underreported).
- Rokok palsu (counterfeit): Pembuatan rokok yang meniru merek terkenal tanpa izin, sering kali menggunakan bahan baku berkualitas rendah dan tidak memenuhi standar keamanan.
Bahan Baku Jadi Sebab Peningkatan Rokok Ilegal
Agar bisa memproduksi rokok ilegal, para pelaku membutuhkan bahan-bahan khusus, yaitu tembakau, acetate tow (bahan filter), kertas rokok, dan mesin produksi. Ironisnya, beberapa bahan ini sulit dikendalikan.
Tembakau mentah relatif mudah diakses karena bisa dibeli di pasar umum tanpa menimbulkan kecurigaan.
Sebaliknya, acetate tow dan kertas rokok adalah produk yang sangat spesifik dan hanya diproduksi oleh segelintir perusahaan di dunia. Lebih dari 80% acetate tow global digunakan khusus untuk filter rokok. Meski demikian, belum ada regulasi khusus yang ketat untuk mengontrol penjualan bahan-bahan ini guna mencegah penggunaannya dalam produksi rokok ilegal.
Sama halnya dengan mesin produksi rokok skala industri, yang secara teori bisa didapatkan oleh siapa pun tanpa batasan hukum khusus. Kondisi ini membuat para produsen ilegal dapat membangun pabrik mereka sendiri dan memproduksi jutaan batang rokok di luar pengawasan pemerintah.
Konsumen Sebagai Titik Vital
Di tengah gempuran kenaikan harga rokok legal, pasar gelap rokok ilegal semakin marak. Namun, fenomena ini tidak hanya soal kerugian negara dan pajak yang hilang, tetapi juga soal ketidaktahuan masyarakat yang sangat mengkhawatirkan. Hasil survei yang dilaporkan oleh Economics for Health pada Maret 2019 mengungkap data yang mengejutkan, menunjukkan betapa besarnya celah informasi ini.
Survei tersebut menyoroti satu alasan utama mengapa rokok ilegal begitu diminati, yaitu harga. Sebanyak 85% responden mengakui bahwa harga yang jauh lebih murah menjadi faktor utama mereka beralih ke rokok ilegal. Ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran akan bahaya dan dampak negatif rokok terus digalakkan, faktor ekonomi tetap menjadi pendorong utama bagi sebagian besar konsumen.
Selain harga, ada alasan lain yang muncul, meski dalam persentase yang jauh lebih kecil. Sekitar 10% responden memilih rokok ilegal karena alasan rasa, sementara 5% lainnya memilih karena alasan merek. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa ada sebagian kecil pasar yang mungkin mencari produk dengan karakteristik tertentu yang tidak mereka temukan di pasar legal, atau bahkan mencari merek-merek palsu yang meniru produk legal.
Bagian yang paling mencolok dari laporan ini adalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan rokok ilegal. Data survei menunjukkan bahwa hampir setengah dari responden, tepatnya 48,5%, tidak tahu bahwa ada rokok ilegal. Kondisi ini sangat ironis, mengingat maraknya peredaran rokok ilegal di berbagai wilayah.
Lebih lanjut, hanya sekitar 20,3% responden yang mengaku bisa membedakan antara rokok legal dan ilegal. Sebaliknya, 30,7% responden tidak bisa membedakannya sama sekali. Jurang pengetahuan ini menciptakan celah besar bagi para produsen dan distributor ilegal. Ketika konsumen tidak bisa membedakan, mereka menjadi target yang mudah. Mereka mungkin secara tidak sengaja membeli rokok ilegal, atau bahkan sengaja melakukannya tanpa menyadari konsekuensi hukum dan bahaya kesehatan yang lebih besar dari rokok tanpa pengawasan.
Ketidaktahuan masyarakat ini menjadi masalah krusial. Tanpa kesadaran akan bahaya dan legalitas produk yang mereka konsumsi, upaya pemerintah dalam menanggulangi peredaran rokok ilegal akan menjadi sia-sia.
Setelah mengetahui skema distribusi dan faktor-faktor yang membuat rokok ilegal sulit diberantas, lantas bagaimana sebenarnya rantai pasok rokok legal?
Rantai Pasok Rokok Legal
Rantai pasok rokok legal di Indonesia diatur dengan ketat oleh berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Cukai (UU No. 39/2007), Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai. Proses ini dibagi menjadi lima tahapan utama:
- Pra-produksi: Tahap ini dimulai dari petani tembakau. Indonesia, khususnya di Jawa, NTB, NTT, dan Madura, adalah salah satu produsen tembakau terbesar di dunia. Selain tembakau, bahan pendukung seperti kertas rokok, filter, dan lem juga diproduksi. Meskipun tidak ada izin khusus untuk menanam tembakau, industri bahan pendukung harus memiliki izin usaha dari Kementerian Perindustrian, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2024.
- Produksi: Perusahaan rokok harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2018, serta Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2023. Di pabrik-pabrik resmi seperti Gudang Garam, Djarum, dan Sampoerna, rokok dikemas dan setiap batang harus memenuhi standar cukai yang berlaku.
- Perpajakan/Transit: Rokok termasuk Barang Kena Cukai (BKC). Cukai dipungut saat rokok keluar dari pabrik, yang ditandai dengan pemasangan pita cukai di setiap bungkus. Rokok yang ditujukan untuk ekspor dibebaskan dari cukai, sementara yang beredar di pasar domestik wajib berpita cukai.
- Grosir: Setelah berpita cukai, rokok didistribusikan ke distributor dan pedagang besar. Meskipun tidak memasang pita cukai, seluruh proses distribusi mereka tercatat dalam sistem resmi.
- Ritel: Ini adalah tahap akhir di mana rokok dijual bebas di toko, warung, dan supermarket.
Tinggalkan Komentar
Komentar