Periskop.id - China telah bertransformasi secara dramatis dari negara yang didominasi penyewa rumah publik menjadi “masyarakat pemilik rumah” dalam waktu singkat.
Menurut Huang, He, & Gan (2020) dari artikel "Introduction to SI: Homeownership and housing divide in China" dalam jurnal Cities. Lebih dari 90% rumah tangga di China kini tercatat memiliki rumah sendiri, sebuah fenomena yang kontras dengan tren penurunan kepemilikan rumah di Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Namun, di balik angka kepemilikan yang tinggi ini, terkuak jurang ketimpangan perumahan yang kompleks dan semakin memprihatinkan.
Transisi Cepat: Dari Kesejahteraan ke Kepemilikan
China dulunya dikenal dengan sistem perumahan berbasis kesejahteraan, yaitu rumah sewa publik dialokasikan untuk warga kota. Meskipun reformasi ekonomi pasar dimulai pada 1978, perubahan besar di sektor perumahan baru terjadi setelah tahun 1998 ketika pemerintah secara resmi mengakhiri sistem penyediaan perumahan berbasis kesejahteraan tersebut.
Proses privatisasi rumah publik yang ada dan pembangunan perumahan swasta yang masif membuat China berubah menjadi negara pemilik rumah dengan cepat: sekitar 87% rumah tangga di perkotaan dan 96% di pedesaan kini memiliki huniannya sendiri. Menariknya, lebih dari 20% rumah tangga bahkan tercatat memiliki lebih dari satu rumah, persentase yang melampaui banyak negara maju.
Dalam beberapa dekade terakhir, China mengalami ledakan pembangunan yang membuat luas tempat tinggal per kapita di kota-kota melonjak dari 4 m² pada 1980-an menjadi 40 m² pada 2018. Angka ini menempatkan China sejajar dengan negara maju seperti Jepang dan beberapa negara Eropa. Bagi kelas menengah yang baru muncul, kepemilikan properti telah mewujudkan impian China akan hunian yang layak.
Faktor Budaya dan Institusional Pendorong Kepemilikan Ganda
Kepemilikan rumah ganda (multiple homeownership) menjadi fenomena unik yang didorong oleh gabungan faktor institusional dan budaya. Studi ini menyoroti bahwa pembelian rumah tambahan oleh kelas menengah tidak hanya untuk investasi atau rekreasi, tetapi juga dipengaruhi oleh:
- Faktor Institusional: Subsidi perumahan di masa reformasi, adanya dana tabungan perumahan wajib (Housing Provident Fund) yang mempermudah kredit, kompensasi besar saat relokasi, dan aturan pembelian rumah yang menguntungkan pemilik hukou (registrasi penduduk) perkotaan.
- Faktor Budaya: Tradisi patrilokal (pasangan tinggal di rumah pihak laki-laki) dan rumah sebagai simbol status atau syarat untuk mengakses layanan publik unggulan (seperti zona sekolah terbaik) mendorong banyak keluarga dengan anak laki-laki untuk membeli rumah tambahan.
Jurang Ketimpangan yang Kian Menganga
Meskipun tingkat kepemilikan rumah tinggi, tujuan rumah layak untuk semua masih jauh panggang dari api. Ketimpangan perumahan adalah bagian paling nyata dari ketimpangan sosial di China.
Banyak kelompok rentan, seperti masyarakat miskin perkotaan, kaum muda, dan migran dari desa ke kota, kesulitan memperoleh hunian layak. Mereka sering berakhir tinggal di rumah petak pinggiran, kamar sempit, atau bahkan asrama bawah tanah yang gelap. Istilah populer seperti ant tribe (yizu) dan mouse tribe (shuzu) digunakan untuk menggambarkan kondisi hidup padat dan sempit yang dialami sebagian kaum muda di kota besar.
Ketimpangan ini diperparah oleh sistem hukou yang membatasi akses migran terhadap perumahan bersubsidi. Akibatnya, mereka terpaksa menempati hunian informal atau membeli rumah "hak kecil" (small property right housing) di tanah kolektif yang legalitasnya lemah. Kontras yang mencolok terlihat dari kaum kaya baru yang tinggal di kompleks vila mewah, menciptakan kesenjangan tajam antara kota-desa, antargenerasi, dan antarwilayah.
Kepemilikan Rumah dan Efek Kebahagiaan
Kajian ini juga meneliti dampak kepemilikan rumah terhadap kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan. Hasilnya menunjukkan:
- Kepemilikan rumah berdampak positif pada kesejahteraan subjektif, bahkan pada pemilik rumah baru yang menghadapi keterbatasan finansial.
- Kekayaan yang ditimbun lewat properti juga memengaruhi kebahagiaan, tetapi terjadi diminishing returns (kenaikan kebahagiaan berkurang) saat seseorang memiliki rumah kedua atau ketiga.
- Ketimpangan kekayaan perumahan yang ekstrem justru dapat menurunkan kebahagiaan publik karena memicu efek iri atau soal status.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang pengalaman China ini memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa, seperti tingginya ketimpangan perumahan lintas generasi dan kesulitan kaum muda mengakses hunian terjangkau.
Tinggalkan Komentar
Komentar