Periskop.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2025 tercatat sebesar 5,04% secara tahunan (year-on-year), dengan laju pertumbuhan kumulatif (c-to-c) mencapai 5,01%. Angka ini mempertegas peran dominan konsumsi rumah tangga yang konsisten menyumbang lebih dari separuh PDB, yaitu 53,97% hingga kuartal III-2025.
Konsumsi rumah tangga telah menjadi fondasi vital dan konsisten, dengan kontribusi yang selalu berada di atas 50% dalam lima tahun terakhir. Namun, ketergantungan yang tinggi ini membawa konsekuensi positif sekaligus negatif bagi prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sisi Positif: Bantalan Krisis Global yang Tangguh
Kekuatan pasar domestik Indonesia, yang didukung oleh populasi besar, telah terbukti menjadi ‘bantalan’ (buffer) yang ampuh meredam guncangan ekonomi global.
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Indonesia Investments, Indonesia berhasil melewati krisis keuangan global 2007–2008 dengan baik. Kunci utamanya adalah pasar domestik yang besar, didorong oleh peningkatan daya beli kelas menengah.
Kemudian, saat krisis global menyebabkan penurunan besar dalam perdagangan dan investasi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 masih mencapai 4,6% (YoY). Ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia sekaligus peringkat ketiga di G20.
Konsumsi rumah tangga yang besar dibarengi dengan ketergantungan yang rendah pada ekspor membuat Indonesia tidak terlalu terdampak oleh penurunan perdagangan global. Sebagai perbandingan, saat pandemi COVID-19 pada tahun 2020, Singapura, yang sangat bergantung pada perdagangan, mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,8%, sementara Indonesia hanya terkontraksi 2,07%.
Sisi Negatif: Kehilangan Peluang Global
Meskipun tangguh terhadap guncangan global, dominasi konsumsi rumah tangga yang ditambah dengan rendahnya peran ekspor menunjukkan sisi negatif, yaitu kurangnya integrasi Indonesia dalam rantai pasok global.
Rasio ekspor terhadap PDB Indonesia saat ini berkisar 22,75% pada triwulan III-2025 secara kumulatif (c-to-c), jauh lebih rendah dibandingkan Thailand yang sekitar 65% pada periode yang sama (Trading Economics, 2025). Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan sejumlah peluang ekonomi, antara lain:
- Penciptaan Lapangan Kerja: Pertumbuhan ekonomi yang didorong ekspor biasanya bersifat labor-intensive dan mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.
- Kehilangan Momentum: Saat perdagangan dunia sedang berada dalam kondisi terbaik, Indonesia tertinggal dari negara-negara yang berorientasi ekspor, khususnya produk manufaktur.
Dengan demikian, tantangan ke depan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah bagaimana menjaga kekuatan konsumsi rumah tangga sebagai benteng pertahanan, sambil secara bersamaan meningkatkan rasio indikator ekonomi makro lainnya, seperti ekspor dan investasi, untuk meraih manfaat penuh dari peluang global.
Tinggalkan Komentar
Komentar