periskop.id - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyiapkan skema tarif cukai khusus untuk mendorong produsen rokok ilegal masuk ke Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT). Kebijakan ini diharapkan mampu menertibkan pelaku usaha hasil tembakau yang selama ini beroperasi di luar sistem resmi. Purbaya menargetkan, skema tersebut akan rampung dan mulai berjalan pada Desember 2025.

"Untuk yang produsen dalam negeri yang ilegal, kita ajak masuk ke sistem yang lebih legal, kawasan industri hasil tembakau KIHT. Dengan tarif yang tertentu, sedang kita buat dan kita galakkan. Mungkin kapan jadinya? Desember jalan? Harusnya Desember jalan," kata Purbaya dalam Rapat Kerja bersama DPD RI, dikutip Selasa (4/11).

Ia menjelaskan, langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara pengendalian konsumsi dan keberlanjutan industri. Selama ini, banyak produsen kecil yang kesulitan memenuhi aturan tarif tinggi sehingga memilih beroperasi di jalur tidak resmi. Dengan insentif berupa tarif khusus, diharapkan mereka mau bergabung ke dalam sistem legal agar lebih mudah diawasi dan berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Purbaya menilai, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang selama ini diterapkan justru tidak memberikan efek jera bagi perokok. Alih-alih menekan konsumsi, kebijakan tersebut malah mendorong munculnya produk-produk ilegal di pasaran. Kenaikan tarif yang terlalu tinggi dianggap tidak menyentuh akar persoalan dan bahkan menimbulkan distorsi baru dalam industri hasil tembakau.

Menurutnya, tujuan awal dari kebijakan cukai tinggi adalah agar masyarakat berhenti merokok. Namun, hal itu tidak terjadi. Permintaan terhadap rokok tetap tinggi, sementara produsen mencari celah untuk menekan biaya produksi, salah satunya dengan masuk ke pasar gelap. Kondisi ini membuat peredaran rokok ilegal justru semakin marak.

"Industri rokok itu kan, mereka bilang, orang Indonesia harus berhenti merokok. Dibuatlah kebijakan kenaikan tarif ke level yang tinggi sekali. Tapi pada kenyataannya, ya pada merokok aja, yang terjadi adalah, barang-barang gelap yang masuk," terang Purbaya.

Kebijakan kenaikan tarif itu, menurutnya, tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Alih-alih menekan konsumsi, langkah tersebut malah menciptakan ketimpangan di pasar dan membuka ruang bagi produk-produk tidak resmi untuk beredar di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kebijakan pengendalian tidak bisa hanya bertumpu pada instrumen fiskal, melainkan perlu pendekatan yang lebih menyeluruh, termasuk pembinaan industri kecil.

“Jadi saya bilang, dari China, dari Vietnam, kalau kebijakannya seperti itu, untuk apa? Bukannya mematikan peredaran rokok, tapi malah mematikan industri dalam negeri dan menghidupkan yang di luar. Kalau begitu saya rugi, saya tidak mau rugi… Kita matikan pasarnya, kita tutup pasar kita dari barang-barang ilegal,” tambahnya.