periskop.id - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sektor pertambangan menjadi satu-satunya lapangan usaha yang mengalami penurunan pada kuartal III 2025. Padahal, sebagian besar sektor ekonomi lainnya tercatat tumbuh positif sepanjang tahun ini.

Data BPS menunjukkan lapangan usaha pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi sebesar 1,98% secara tahunan (year on year). Penurunan terutama terjadi pada komoditas batu bara dan lignit yang merosot 7,29%, diikuti oleh pertambangan bijih logam yang turun 3,19%, serta pertambangan minyak, gas, dan panas bumi yang melemah 0,49%.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa pelemahan tersebut disebabkan oleh turunnya permintaan global terhadap komoditas tambang utama Indonesia. Kondisi itu menekan kinerja ekspor sekaligus menghambat pertumbuhan di subsektor pertambangan migas, batu bara, dan bijih logam.

“Akibat kontraksinya pertumbuhan pertambangan migas, batu bara, dan bijih logam, terkontraksi sebesar 7,29% karena penurunan permintaan di pasar global. Batu bara kalau kita lihat di data ekspornya juga kontraksi. Kemudian, pertambangan bijih logam juga terkontraksi minus 3,19%,” katanya di Jakarta, Rabu (5/11).

Dampak penurunan produksi tambang juga terasa kuat di daerah penghasil utama, terutama di Provinsi Papua Tengah. BPS mencatat, perekonomian Papua Tengah pada kuartal III 2025 terkontraksi hingga 16,11% (yoy), menjadi salah satu kontraksi terdalam secara nasional.

Kontraksi tajam tersebut dipicu oleh turunnya produksi tembaga dan emas PT Freeport Indonesia. Produksi di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave (GBC) sempat terhenti akibat insiden luncuran material basah yang terjadi pada 8 September 2025.

“Papua Tengah negatif cukup besar karena kondisi kahar di Freeport sana yang disebabkan adanya luncuran material basah, sehingga produksi bijih logam turun,” ujar Edy.

Ia menambahkan, aktivitas perusahaan tambang besar seperti Freeport memiliki peran vital terhadap perekonomian daerah. Karena itu, gangguan operasional yang menyebabkan penurunan output berimbas signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Papua Tengah.