periskop.id - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, beserta Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri, berhasil mengungkap modus baru penghindaran turunan dari kewajiban ekspor pada komoditas kelapa sawit dan produk turunannya (crude palm oil/CPO) oleh PT MMS di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Adapun barang bukti yang disita berupa 87 kontainer berisi 1.802 ton komoditas dengan nilai mencapai Rp28,7 miliar, yang rencananya akan diekspor ke China. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan pihaknya telah melakukan pendalaman dengan sistem mirroring analysis Satgassus terhadap PT MMS terkait ekspor komoditas fatty matter yang melonjak hingga 278% dibandingkan tahun sebelumnya.
"Alhamdulillah, dari hasil kerja sama tersebut, maka dilaksanakanlah pemeriksaan terhadap kandungan fatty matter ke tiga lab yang ada, banyak yang ada di Bea Cukai, kemudian ada yang dari salah satu universitas, dan juga dari laboratorium terpadu," kata Listyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/11).
Temuan lapangan ini menjadi bukti awal yang valid atas hasil kajian yang telah dilakukan Satgassus OPN Polri sejak pertengahan tahun 2025. Kajian tersebut berfokus pada upaya optimalisasi penerimaan negara dari sektor sumber daya alam, khususnya dari kegiatan ekspor produk turunan kelapa sawit.
"Kajian dilaksanakan sejak bulan Juli 2025 dengan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, serta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," jelasnya.
Kajian lintas lembaga tersebut menemukan indikasi adanya praktik penyamaran jenis barang atau HS misclassification, praktik under invoice, serta penghindaran pajak yang dilakukan sejumlah eksportir produk turunan kelapa sawit.
"Modus tersebut berpotensi menyebabkan kerugian penerimaan negara yang sangat besar dan memperkuat aktivitas shadow economy, yaitu kegiatan ekonomi yang berlangsung di luar sistem resmi negara dan tidak tercatat dalam sistem perpajakan maupun kepabeanan," tegas Listyo.
Dia menambahkan, hasil kajian menunjukkan bahwa sejak tahun 2022 hingga awal 2025, sejumlah eksportir melaporkan ekspor sebagai POME Oil (HS Code 230690) untuk menghindari kewajiban Bea Keluar dan Pungutan Ekspor.
Padahal, POME (Palm Oil Mill Effluent) sejatinya merupakan limbah cair hasil pengolahan CPO (Crude Palm Oil) dengan kadar minyak hanya sekitar 0,7 persen dan tidak layak secara ekonomis untuk diekspor dalam jumlah besar. Data menunjukkan bahwa volume ekspor POME justru melampaui volume ekspor CPO nasional, serta ditemukan perbedaan signifikan antara data ekspor Indonesia dan data impor negara tujuan (mirror gap).
Setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 yang membatasi ekspor POME, terjadi peningkatan signifikan ekspor produk turunan CPO yang diberitahukan sebagai fatty matter.
"Klasifikasi tersebut tidak termasuk dalam daftar komoditas yang dikenakan Bea Keluar maupun Pungutan Ekspor, sehingga dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban fiskal. Pergeseran modus ini menunjukkan pola adaptif pelaku usaha dalam memanfaatkan celah regulasi untuk menghindari pungutan resmi negara," tutupnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar