periskop.id - Di balik gemerlap butik mewah di Paris, Milan, atau New York, ada kisah panjang tentang perjalanan sebuah produk fashion premium sebelum sampai ke tangan konsumen. Banyak orang membayangkan seluruh prosesnya terjadi di bengkel-bengkel artisan di Italia atau Prancis. Namun, kenyataannya, sebagian proses itu kini melibatkan pabrik-pabrik modern di China.
Masuknya China ke rantai produksi merek-merek seperti Versace, Dolce & Gabbana, atau Giorgio Armani bukanlah kebetulan. Negara ini telah membangun infrastruktur manufaktur yang sangat maju, dengan kemampuan memproduksi dalam skala besar tanpa mengorbankan presisi. Tenaga kerja yang terampil, biaya produksi yang lebih rendah, dan kecepatan eksekusi menjadi daya tarik utama bagi brand global.
Awalnya, keterlibatan China hanya sebatas pada pembuatan komponen atau lini produk sekunder. Misalnya, kain dipotong di China, lalu dikirim ke Italia untuk tahap finishing. Namun, seiring waktu, porsi produksi di China semakin besar, termasuk untuk lini produk yang dijual di pasar internasional.
Bentuk Kompromi Merek Premium
Bagi merek-merek premium, strategi ini adalah kompromi antara efisiensi dan citra. Mereka tetap mempertahankan sebagian produksi di negara asal untuk menjaga label “Made in Italy” atau “Made in France”, sementara sebagian besar proses awal dilakukan di luar negeri.
Di Uni Eropa, label asal produk diatur oleh Union Customs Code (Regulation (EU) No. 952/2013). Aturannya jelas: negara asal ditentukan oleh “last substantial transformation” — proses manufaktur terakhir yang mengubah produk secara signifikan, baik dari segi bentuk, fungsi, atau klasifikasi tarif.
Artinya, jika sebagian besar proses terjadi di China dan hanya tahap akhir sederhana dilakukan di Italia, secara hukum labelnya harus “Made in China”. Namun, jika tahap akhir tersebut benar-benar mengubah bentuk atau nilai produk secara signifikan, label “Made in Italy” bisa digunakan secara sah.
Italia sendiri sangat ketat dalam melindungi label “Made in Italy” karena reputasinya di sektor fashion, kulit, furnitur, dan kuliner. Penyalahgunaan label ini dapat berujung pada tuntutan hukum atas penipuan komersial dan pemalsuan.
Kasus Dior di Milan, misalnya, memicu sorotan publik ketika pengadilan menemukan subkontraktor mempekerjakan imigran ilegal asal China untuk memproduksi tas yang kemudian dijual dengan harga puluhan juta rupiah.
Kita Tidak Membeli Produk Tetapi Brand
Meski demikian, banyak konsumen tetap membeli produk-produk ini dengan harga tinggi. Rahasianya ada pada kekuatan branding. Merek-merek mewah telah membangun citra eksklusif selama puluhan tahun, mengasosiasikan produknya dengan status sosial, gaya hidup, dan prestise.
Branding ini menciptakan persepsi bahwa harga tinggi adalah wajar, bahkan ketika biaya produksinya jauh lebih rendah. Sebuah tas yang dibuat dengan biaya sekitar Rp1 juta bisa dijual hingga Rp45 juta karena nilai tambah yang datang dari nama merek, desain ikonik, dan pengalaman belanja yang mewah.
Selain itu, merek-merek premium menguasai narasi. Mereka menekankan cerita tentang warisan, craftsmanship, dan keterampilan artisan, meskipun sebagian prosesnya dilakukan di pabrik modern di Asia. Cerita ini membentuk persepsi konsumen bahwa mereka membeli “sepotong sejarah” atau “karya seni”, bukan sekadar barang.
Strategi pemasaran juga memainkan peran besar. Kolaborasi dengan selebritas, kampanye visual yang memukau, dan keterbatasan jumlah produksi menciptakan rasa kelangkaan yang mendorong permintaan. Konsumen merasa memiliki sesuatu yang “tidak semua orang bisa punya”.
Di sisi lain, kualitas produksi di China sendiri telah meningkat pesat. Banyak pabrik di sana kini mampu memenuhi standar ketat yang ditetapkan merek-merek mewah, termasuk kontrol kualitas berlapis. Hal ini membuat argumen “Made in China berarti kualitas rendah” semakin usang.
Transparansi Ambigu
Namun, transparansi tetap menjadi isu. Sebagian konsumen mulai menuntut kejelasan tentang asal-usul produk yang mereka beli. Beberapa brand merespons dengan membuka informasi rantai pasok, sementara yang lain tetap mempertahankan misteri demi menjaga aura eksklusif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam industri fashion mewah, nilai produk tidak hanya ditentukan oleh bahan atau proses pembuatannya, tetapi juga oleh persepsi yang dibangun melalui branding. Selama merek mampu mempertahankan citra dan cerita yang kuat, harga tinggi akan tetap bisa dibenarkan di mata konsumen.
Pada akhirnya, masuknya China ke dalam proses produksi merek-merek premium adalah bagian dari evolusi industri fashion global. Ini adalah pertemuan antara efisiensi manufaktur modern dan kekuatan narasi merek yang telah teruji waktu. Dan selama konsumen masih membeli cerita di balik produk, bukan hanya produknya, strategi ini akan terus berjalan.
Merek | Jenis Produk yang Diproduksi di China | Catatan |
---|---|---|
Prada | Sepatu, tas, pakaian ready-to-wear | Prada pernah menyatakan memindahkan sebagian produksi ke China karena kualitas manufakturnya sudah tinggi. |
Burberry | Aksesori, pakaian kasual, trench coat tertentu | Produksi di China untuk pasar Asia, tetap mempertahankan lini “Made in UK” untuk koleksi premium. |
Coach | Tas, dompet, aksesori kulit | Sebagian besar produksi global dilakukan di China dan Vietnam. |
Michael Kors | Tas, dompet, pakaian ready-to-wear | Produksi massal di China untuk efisiensi biaya. |
Dolce & Gabbana | Pakaian dan aksesori tertentu | Memiliki pemasok di China, Turki, dan negara lain; tidak semua produk “Made in Italy”. |
Versace | Kacamata, aksesori, pakaian tertentu | Beberapa lini diproduksi di Asia, termasuk China, untuk pasar global. |
Giorgio Armani | Kacamata, pakaian kasual, aksesori | Lini Armani Exchange dan Emporio Armani banyak diproduksi di Asia. |
Hugo Boss | Pakaian kasual, aksesori | Produksi tersebar di Eropa Timur, Turki, dan China. |
Gucci | Kacamata, aksesori tertentu | Beberapa produk non-kulit dibuat di China, sementara barang kulit premium tetap di Italia. |
Tinggalkan Komentar
Komentar