periskop.id - Pengangkatan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali memunculkan perdebatan publik. Sebagian pihak menilai jasa Soeharto dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas politik layak dikenang, sementara kritik keras tetap diarahkan pada catatan korupsi dan pelanggaran HAM di masa pemerintahannya.
Putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut, menanggapi kontroversi tersebut dengan menekankan bahwa ayahnya telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa.
“Bapak itu bekerja untuk rakyat, membangun jalan, irigasi, dan memberi makan rakyat,” ujar Tutut dalam sebuah pernyataan dilansir dari Antara, Senin (10/11).
Tutut menilai stigma korupsi dan pelanggaran HAM yang dilekatkan pada Soeharto tidak seharusnya menghapus jasa besar yang pernah dilakukan.
Ia menegaskan, “Kalau ada yang bilang bapak korupsi, itu tidak benar. Bapak tidak pernah mengambil uang rakyat.”
Meski demikian, catatan sejarah menunjukkan bahwa era Orde Baru identik dengan praktik korupsi yang sistemik. Transparency International pada tahun 2004 menempatkan Soeharto sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan kerugian negara mencapai lebih dari US$15 miliar.
Di sisi lain, pembangunan ekonomi pada masa Soeharto memang membawa Indonesia keluar dari krisis pangan dan meningkatkan pertumbuhan rata-rata 7% per tahun pada dekade 1980-an. Program swasembada beras yang dicanangkan kala itu bahkan mendapat pengakuan dari FAO.
Namun, catatan pelanggaran HAM juga tidak bisa diabaikan. Peristiwa seperti penembakan misterius (petrus) pada 1980-an, tragedi Tanjung Priok 1984, hingga kerusuhan Mei 1998 menjadi bagian dari sejarah kelam yang masih diperdebatkan hingga kini.
Kontroversi pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional mencerminkan tarik-menarik antara narasi pembangunan dan narasi pelanggaran. Sebagian kalangan akademisi menilai bahwa gelar pahlawan seharusnya diberikan dengan mempertimbangkan aspek moral dan keadilan, bukan hanya capaian ekonomi.
Tutut sendiri mengajak masyarakat untuk melihat sisi positif ayahnya. “Bapak itu orangnya sederhana, tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Semua untuk rakyat,” katanya. Pernyataan ini menjadi bagian dari upaya keluarga untuk meluruskan persepsi publik.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa warisan Soeharto masih membelah opini bangsa. Di satu sisi, ia dikenang sebagai arsitek pembangunan; di sisi lain, ia dikritik sebagai simbol otoritarianisme dan korupsi.
Tinggalkan Komentar
Komentar