periskop.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden Kedua RI, Soeharto, merupakan sebuah langkah imoral. KontraS menilai keputusan pemerintah ini secara terang-terangan mengabaikan sejarah kelam pelanggaran HAM dan praktik korupsi masif yang terjadi selama era pemerintahannya.
“Pemberian gelar ini menunjukkan bahwa negara kembali mengabaikan rekam jejak pelanggaran HAM dan praktik korupsi yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto,” tulis KontraS dalam pernyataan resminya di media sosial, Senin (10/11), bertepatan dengan pengumuman Hari Pahlawan.
Lebih jauh, KontraS menegaskan bahwa rekam jejak Soeharto sangat bertentangan dengan syarat moralitas dan keteladanan.
Syarat tersebut, menurut KontraS, secara jelas diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
Selain itu, pemberian gelar ini juga dipandang melanggar asas-asas fundamental yang termaktub dalam Pasal 2 UU GTK, yang mencakup asas kemanusiaan, keadilan, dan keterbukaan.
KontraS juga menyoroti bagaimana Soeharto dikenal luas telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri, lingkaran keluarga, dan kroni-kroninya selama puluhan tahun berkuasa.
Sikap KontraS ini sejalan dengan kritik yang disuarakan oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS).
GEMAS turut mengecam keras penganugerahan gelar tersebut, yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2025.
Dalam Keppres yang sama, Sarwo Edhie Wibowo juga termasuk dalam sepuluh tokoh yang menerima gelar pahlawan nasional tahun ini.
KontraS mengakui bahwa pemberian gelar merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden.
Meski demikian, mereka menegaskan bahwa kewenangan tersebut tidak seharusnya dijalankan secara sewenang-wenang.
Seharusnya, proses ini melibatkan partisipasi publik yang bermakna, terutama ketika menyangkut penganugerahan gelar untuk tokoh kontroversial yang memiliki catatan dugaan pelanggaran HAM berat.
Protes publik terhadap upaya glorifikasi Soeharto sebenarnya telah berlangsung lama.
Aksi Kamisan, yang konsisten digelar di depan Istana Negara dan kini telah mencapai aksinya yang ke-885, kembali menyuarakan penolakan.
Pada Kamis (6/11/2025) pekan lalu, para peserta aksi Kamisan secara khusus mengusung tema “Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Akhiri Pemutihan Sejarah dan Impunitas.”
Aksi tersebut menggarisbawahi pandangan bahwa penganugerahan gelar ini merupakan bentuk "pemutihan sejarah".
Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menghapus catatan kelam Orde Baru sekaligus mengabaikan perjuangan panjang para korban pelanggaran HAM yang selama ini tak henti menuntut keadilan.
Tinggalkan Komentar
Komentar