periskop.id - Pada 24 September 2025, ribuan petani dari berbagai daerah berkumpul di depan Gedung DPR RI untuk memperingati Hari Tani Nasional. Mereka datang membawa hasil bumi sebagai simbol perjuangan agraria. Pertemuan ini menjadi momentum penting karena DPR menerima langsung aspirasi petani yang selama ini menuntut keadilan atas tanah.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan petani yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan organisasi tani lainnya menyampaikan tuntutan utama. Mereka menekankan perlunya pembentukan Komite Nasional dan Dewan Nasional Reforma Agraria yang independen agar kebijakan redistribusi tanah berjalan lebih adil dan transparan.

Selain itu, petani juga mendesak revisi Perpres No. 62 Tahun 2023 yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat kecil. Mereka menilai regulasi tersebut masih memberi ruang besar bagi korporasi, sementara petani kecil dan masyarakat adat sering terpinggirkan dalam akses terhadap tanah.

Isu lain yang mengemuka adalah penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Menurut kelompok tani, aturan tersebut memperparah ketimpangan agraria dan membuka peluang eksploitasi lahan oleh perusahaan besar. 

Mereka menegaskan bahwa tanah seharusnya menjadi sumber kehidupan rakyat, bukan sekadar komoditas investasi.

DPR melalui Wakil Ketua Sufmi Dasco Ahmad menyatakan akan menindaklanjuti aspirasi tersebut. Ia berjanji akan menggelar rapat lintas kementerian bersama ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Desa untuk membahas langkah konkret. Komitmen ini disambut positif, meski petani tetap menuntut bukti nyata, bukan sekadar janji.

Mengutip Antara, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan realita yang terjadi saat ini adalah para petani dan nelayan mampu berdaulat dengan menciptakan lumbung pangan, tetapi tanahnya tidak kunjung diakui. Bahkan, ada juga petani dan nelayan yang kehilangan tanahnya maupun aksesnya ke laut.

"Presiden dan DPR RI harus menjalankan reforma agraria sejati sekarang juga," kata Dewi.

Dia mengatakan bahwa beberapa waktu lalu marak aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah hingga menimbulkan aksi penjarahan rumah pejabat. Namun hal yang luput dari sorotan adalah penjarahan tanah-tanah rakyat dan kekayaan di pedesesaan.

"Konsesi-konsesi itu terus berdiri, bahkan puluhan tahun. Jadi ini adalah serikat-serikat tani yang sebenarnya bukan baru, karena sejak dari Orde Baru sudah menguasai tanah, sudah menjadi kampung, menjadi desa definitif, tapi tidak kunjung dimerdekakan," katanya.