Periskop.id - Dinamika ideologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Setelah kemerdekaan, berbagai paham seperti sosialisme, nasionalisme, dan komunisme saling bersaing memperebutkan pengaruh. Di tengah sengitnya rivalitas antara golongan nasionalis, Islamis, dan Marxis, munculah Pancasila sebagai ideologi terbuka. Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno memperkenalkan sebuah konsep yang menyaingi Pancasila, yakni Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Menurut penelitian L. Winata (2017) yang diterbitkan dalam Avatara: Jurnal Pendidikan Sejarah, Nasakom berfungsi sebagai ideologi yang sentralistik, dirancang untuk mempertahankan kekuasaan Soekarno di tengah ketidakstabilan politik.

Nasakom sebagai Distorsi Ideologi

Pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno memegang kekuasaan tertinggi, berupaya menyatukan kembali bangsa yang dilanda krisis. Dianggap sebagai ideologi yang lebih revolusioner, Nasakom menjadi jargon politik Soekarno. Konsep ini didasarkan pada tiga kekuatan besar: Nasionalisme, yang diwakili oleh kekuatan politik militer; Agama, yang merujuk pada kekuatan politik Islam; dan Komunisme, yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Fungsi utama Nasakom adalah sebagai penyeimbang, mencegah ketiga kekuatan ini saling menyerang atau bahkan mengkudeta presiden. DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan DPR Gotong Royong, yang berisi perwakilan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), PKI, dan Militer. Dengan demikian, ketiga kekuatan ini dipaksa untuk bekerja sama di bawah konsepsi presiden.

NU, yang sebelumnya menolak PKI, akhirnya mengubah sikapnya dan bekerja sama demi Nasakom. Sementara itu, PKI mendapatkan keuntungan besar dari konsep ini, karena mereka diterima dalam pemerintahan dan terlindungi oleh Soekarno. Jika ada yang menentang PKI, maka mereka akan dianggap sebagai "anti-Nasakom". Soekarno bahkan secara terbuka mengutuk gerakan anti-Nasakom dalam pidatonya, menyebutnya sebagai hal yang menyenangkan kaum imperialis.

Pro dan Kontra yang Terus Tumbuh

Seiring berjalannya waktu, Nasakom terus menimbulkan pro dan kontra. Kekuatan PKI yang semakin menonjol membuat banyak pihak kontra. Fobia terhadap ajaran komunis meningkat. Pihak militer, misalnya, pernah melaporkan kepada Soekarno bahwa PKI telah menyebabkan kekacauan di desa-desa dan memperingatkan presiden agar tidak terlalu percaya pada loyalitas PKI. Namun, Soekarno melarang militer untuk mengambil tindakan politis.

Sebagai balasan, PKI mengingatkan rakyat bahwa anti-Nasakom sama dengan anti-Pancasila dan kontra-revolusioner. Upaya legitimasi Nasakom terus dilakukan, termasuk melalui lagu berjudul "Nasakom Bersatu" yang diciptakan oleh seniman Subronto K. Atmodjo. Lagu ini pertama kali diperdengarkan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di Lapangan Ikada, menyerukan persatuan di bawah poros Nasakom.

Namun, polarisasi yang ada di masyarakat membuat Nasakom sulit diterapkan secara utuh, menghambat proses legitimasi kekuasaan Soekarno. Kegagalan ini mencapai puncaknya dengan meletusnya Peristiwa G30S, sebuah catatan kelam yang mengakhiri era Demokrasi Terpimpin. Peristiwa ini menelan banyak korban jiwa dan berujung pada turunnya jabatan Soekarno, digantikan oleh Jenderal Soeharto, menandai dimulainya era Orde Baru.