Periskop.id - Enam puluh tahun lalu, Indonesia terperosok dalam salah satu babak tergelap dalam sejarahnya. Gelombang anti-komunis yang dipicu oleh kudeta gagal Gerakan 30 September (G30S) memicu pembunuhan massal terhadap lebih dari 500.000 orang, menyingkirkan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan mengantarkan Indonesia ke era Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Peristiwa yang jarang direnungkan secara kritis ini melenyapkan konsep penyeimbang “Nasakom” Soekarno dan membuka jalan bagi militer untuk berkuasa.
Memicu Kebencian dan Pembantaian Massal
Seperti dilansir People’s World, kudeta yang gagal tersebut melepaskan kebencian komunal yang sudah lama terpendam dan disulut oleh Angkatan Darat. PKI segera dituduh sebagai dalang dan dilarang dari seluruh aspek kehidupan politik, sosial, dan militer. Pembantaian brutal dimulai pada Oktober 1965 dan berlanjut hingga awal 1966. Ribuan warga dan satuan militer membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.
Peristiwa ini digambarkan sangat sadis, dengan laporan tentang sungai-sungai yang memerah oleh darah dan mayat-mayat yang mengambang ke laut. Film propaganda Orde Baru, “Pengkhianatan G30S/PKI,” yang ditayangkan setiap tahun di televisi pemerintah, menjadi satu-satunya versi resmi yang boleh beredar di ruang publik, menutupi kebrutalan yang terjadi.
Peran Gelap Kekuatan Asing
Meski badan intelijen Amerika Serikat (AS), Central Intelligence Agency (CIA) membantah terlibat langsung, dokumen yang dideklasifikasi menegaskan keterlibatan Amerika Serikat dan pemerintah Barat lainnya. Awalnya, ada kesepahaman di tingkat tertinggi AS dan Inggris bahwa Soekarno perlu dilenyapkan. Pemerintah AS kemudian memberikan daftar panjang nama komunis kepada skuad maut di Indonesia. Sebuah laporan rahasia CIA menyatakan pembantaian itu termasuk salah satu pembunuhan massal terburuk abad ke-20.
Dalam konteks Perang Dingin, AS memandang pemimpin nasionalis seperti Soekarno, yang ingin bersikap netral, sebagai ancaman. Sejak 1958 hingga 1965, AS melatih, mendanai, dan memasok Angkatan Darat Indonesia, membantunya menjelma menjadi “negara di dalam negara” yang siap mengambil alih kekuasaan.
Jatuhnya Aidit dan Soekarno
Sementara itu, Ketua PKI, Dipa Nusantara Aidit, yang memimpin partai komunis terbesar ketiga di dunia, menjadi buronan utama. Menurut laporan New York Times, pada malam 21 November 1965, Aidit ditangkap di dekat Solo, Jawa Tengah, dan dieksekusi secara diam-diam. Pemerintah Indonesia tidak pernah mengungkapkan secara resmi bagaimana ia meninggal atau isi "wasiat" terakhirnya.
Setelah kegagalan G30S, Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dengan cepat mengambil alih kendali dan menuduh PKI. Aliansi politik antara Soekarno dan Aidit, yang telah dibangun selama bertahun-tahun, runtuh. Meskipun Soekarno awalnya berhasil mempertahankan posisinya, kekuasaannya perlahan namun pasti diambil alih oleh Soeharto. Pada Maret 1968, Soeharto resmi terpilih sebagai presiden, memulai era Orde Baru yang berkuasa selama 30 tahun.
Bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan, tragedi ini menyisakan luka yang dalam. Dalam film dokumenter Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing,” seorang pemimpin skuad maut, Adi Zulkadry, dengan bangga menceritakan kebrutalan yang mereka lakukan.
"Kami diizinkan melakukannya. Buktinya, kami membunuh orang dan tak pernah dihukum," ujar Adi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa para pelaku genosida di Indonesia masih hidup bebas dan bahkan membanggakan perbuatan mereka.
Tinggalkan Komentar
Komentar