periskop.id - Affan Kurniawan (20 tahun), seorang pengemudi ojek online, meninggal dunia usai terlibat insiden tragis dengan kendaraan taktis (rantis) Rimueng di kawasan Pejompongan, Jakarta, Kamis (28/8). 

Peristiwa yang terekam dan tersebar luas di media sosial itu menunjukkan korban terlindas saat situasi kericuhan pasca-aksi unjuk rasa, sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat. 

Nyawanya tak tertolong, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan memicu perhatian publik terhadap prosedur pengamanan serta keselamatan warga sipil di tengah operasi aparat.

Tak pelak rantis Rimueng juga menjadi salah satu elemen yang banyak disorot netizen dari insiden ini. Rimueng sendiri adalah salah satu rantis lapis baja yang menjadi andalan Korps Brimob Polri dalam berbagai operasi, mulai dari patroli jarak jauh, pengamanan unjuk rasa, pengamanan VVIP, hingga misi penyelamatan di wilayah rawan.

Mengutip berbagai sumber, nama “Rimueng” diambil dari bahasa Aceh yang berarti harimau, melambangkan kekuatan, ketangguhan, dan kelincahan kendaraan ini di medan operasi.

Rimueng dirancang sebagai rantis Patroli Jarak Jauh (PJJ) dengan kemampuan mobilitas tinggi di berbagai medan, termasuk jalan perkotaan, pedesaan, hingga jalur ekstrem. Kendaraan ini dibuat oleh PT Pindad (Persero) bekerja sama dengan mitra teknologi luar negeri, sehingga menggabungkan desain lokal dengan standar perlindungan internasional.

Dari sisi spesifikasi, Rimueng memiliki dimensi panjang sekitar 5,33 meter, lebar 2,2 meter, dan bobot operasional mencapai 12 ton. Bodinya dilapisi full body armor plate dengan kaca anti peluru NIJ Level 3, Rimueng mampu menahan tembakan senapan serbu kaliber 5,56 mm. Kendaraan ini dapat mengangkut 4 personel di dalam kabin dan 8 personel tambahan di footstep luar kanan-kiri.

Mesinnya menggunakan diesel 3.200 cc buatan Isuzu yang sanggup menghasilkan tenaga hingga 215hp dan torsi 600Nm untuk membawa beban penuh, dengan kecepatan maksimum 100 km/jam di jalan rata. Rimueng juga mampu menaklukkan tanjakan ekstrem hingga 60 derajat. 

Sistem persenjataannya meliputi mounting gun untuk senapan serbu dan dua pelontar gas air mata kaliber 38 mm berkapasitas 15 peluru, yang dapat ditembakkan otomatis atau manual.

Rimueng dilengkapi ban run-flat yang tetap bisa digunakan meski terkena tembakan atau pecah, menjadikannya ideal untuk operasi di wilayah konflik atau kerusuhan. 

Suspensi dan sistem penggerak 4x4 membuatnya lincah di medan berat, sementara desain kabinnya memberikan perlindungan maksimal bagi awak dan penumpang.

Hingga 2025, tak ada angka pasti jumlah Rimueng yang dimiliki oleh berbagai satuan Korps Brimob di seluruh Indonesia, termasuk di Polda Aceh, Polda Metro Jaya, dan Polda Jawa Tengah. Namun, dari pola distribusi dan kapasitas produksi PT Pindad, banyak pengamat menyebut ada setidaknya 20 unit Rimueng milik Brimob yang beroperasi pada tahun 2024.

Biaya pembuatan satu unit Rimueng diperkirakan berada di kisaran Rp8–Rp10 miliar, tergantung konfigurasi persenjataan dan perlengkapan tambahan yang dipasang. 

Harga ini mencakup material baja balistik, sistem persenjataan, mesin, serta teknologi pendukung seperti sistem komunikasi dan navigasi.

Dengan kombinasi perlindungan, mobilitas, dan daya gempur, Rimueng menjadi simbol kesiapsiagaan Brimob dalam menghadapi berbagai ancaman. Namun, sayang dengan meninggalnya Affan menjadi noda hitam yang akan melekat selamanya di ingatan kita tentang Brimob dan Rimueng.