Periskop.id - Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Andry Asmoro memproyeksikan, kebijakan pengalihan dana pemerintah Rp200 triliun ke perbankan dapat mendorong Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan tumbuh mencapai 10% year on year (yoy). Per Juli 2025, sesuai data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DPK di perbankan tercatat tumbuh 7,0% (yoy) menjadi Rp9.294 triliun.

“Penempatan Rp200 triliun di sistem perbankan akan menambah sekitar 2% dari posisi DPK saat ini senilai Rp9.294 triliun, sehingga berpotensi mendorong pertumbuhan DPK menuju sekitar 10 % (yoy),” ujar Asmo, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (12/9). 

Selain itu, lanjutnya, kebijakan pengalihan dana ke perbankan juga akan mengangkat pertumbuhan kredit melebihi di atas capaian Juli 2025 yang tumbuh 7,03% (yoy).

Ia menjelaskan, peningkatan dana di perbankan akan menurunkan suku bunga pasar uang antarbank atau Indonesia Overnight Index Average (IndONIA) dan spread Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sekaligus meningkatkan volume transaksi pasar uang.

Kemudian, dengan likuiditas yang meningkat, transmisi kebijakan moneter menjadi lebih efektif dan kecepatan perputaran uang atau velocity of money, berpotensi kembali ke level pra-pandemi covid-19 di atas 2,5. Level tersebut terakhir kali tercatat pada tahun 2019.

Untuk diketahui, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah mencairkan dana senilai Rp200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia (BI) ke lima bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) pada Jumat (12/9) sore ini.

“Kemarin saya janji akan menambahkan Rp200 triliun ke perbankan. Ini sudah diputuskan. Siang ini disalurkan dan sore sudah masuk,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Jumat.

Adapun, kelima bank itu antara lain, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dengan dana masing-masing senilai Rp55 triliun. Kemudian, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) senilai Rp25 triliun dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) senilai Rp10 triliun

OJK mencatat kredit perbankan tumbuh 7,03% (yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun pada Juli 2025, dengan rincian Kredit Investasi tumbuh 12,42% (yoy), Kredit Konsumsi tumbuh 8,11% (yoy), dan Kredit Modal Kerja tumbuh 3,08% (yoy).

Kemudian, DPK tercatat tumbuh sebesar 7,00% (yoy) menjadi Rp9.294 triliun per Juli 2025, dengan giro, tabungan, dan deposito masing-masing tumbuh sebesar 10,72% (yoy), 5,91% (yoy), dan 4,84% (yoy).

Likuiditas industri perbankan pada Juli 2025 tercatat tetap memadai, dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit(AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 119,43% dan 27,08%.

Capaian tersebut masih di atas threshold, yang masing-masing sebesar 50% dan 10%. Adapun Liquidity Coverage Ratio (LCR) berada di level 205,26%.

OJK Mengawasi
Sementara itu, menanggapi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan terus mendukung efektivitas pengelolaan dana pemerintah Rp200 triliun yang ditempatkan di lima bank umum. OJK akan melakukan pengawasan terhadap perbankan, sehingga penyaluran kredit meningkat namun tetap prudent.

“OJK juga meminta perbankan untuk tetap menerapkan manajemen risiko yang terukur dalam penyaluran kredit agar kualitas kredit perbankan tetap terjaga, dan dana masyarakat/pemerintah tetap terjaga dengan aman,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae di Jakarta, Jumat.

Secara umum, Dian menyampaikan, OJK sangat menghargai langkah pemerintah dalam mengoptimalkan pengelolaan dana negara untuk mendukung perbankan dan perekonomian nasional.

OJK berharap penempatan dana tersebut dapat mendorong penurunan biaya dana (cost of fund/CoF) perbankan yang dapat memengaruhi penurunan suku bunga kredit. Dengan begitu, menjadi stimulus pertumbuhan kredit dalam mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi pemerintah.

Ia menekankan pertumbuhan kredit perbankan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan likuiditas. Laju kredit juga sangat bergantung pada faktor eksternal, seperti kuatnya permintaan pembiayaan dari dunia usaha.

Kemudian, prospek pertumbuhan ekonomi nasional, stabilitas keamanan dan politik, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai sektor ekonomi, serta faktor-faktor eksternal.

Sebagai catatan, likuiditas perbankan saat ini dalam kondisi baik tercermin dari rasio AL/NCD sebesar 119,43% dan AL/DPK sebesar 27,09% pada Juli 2025, jauh di atas threshold minimal masing-masing 50% dan 10%.

“Dengan demikian, penguatan di seluruh aspek tersebut menjadi kunci untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit yang tinggi dan berkelanjutan,” tegas Dian.

Dian pun menyampaikan, ekonomi Indonesia masih solid di tengah dinamika global maupun domestik. Pada kuartal II 2025, pertumbuhan mencapai 5,12% yoy, melampaui ekspektasi 4,8%.

Kinerja manufaktur juga kembali ekspansif dengan PMI 51,5 pada Agustus 2025 setelah empat bulan kontraksi. Hal ini menunjukkan peningkatan aktivitas ekonomi yang berpotensi menjaga pertumbuhan sepanjang 2025.

Optimisme konsumen pun terjaga, tercermin dari indeks keyakinan konsumen Agustus 2025 di level 117,2. Sementara itu, sektor perbankan Indonesia tetap tangguh dengan kinerja stabil meski pertumbuhan kredit melambat dibanding tahun lalu.

Pada Juli 2025, kredit tumbuh 7,03% yoy, terutama didorong kredit korporasi yang naik 9,59% yoy. Jika dilihat dari sektor ekonomi, pertumbuhan ditopang sektor rumah tangga (8,39%), industri pengolahan (5,59%), serta pertambangan dan penggalian (18,31%).

Dana pihak ketiga (DPK) naik 7,00% yoy. Sedangkan loan to deposit ratio (LDR) tercatat di level 86,54%, menunjukkan ruang ekspansi kredit masih terbuka.

Adapun pertumbuhan undisbursed loan sebesar 9,52% yoy, lebih tinggi dari 6,89% tahun lalu. hal ini mengindikasikan adanya kelonggaran tarik kredit di masa depan yang dapat dimanfaatkan oleh debitur dalam melakukan ekspansi usaha.