Periskop.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, kebijakan pemerintah untuk menempatkan dana Rp200 triliun pada lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), dapat memperkuat likuiditas perbankan nasional. Hal ini sekaligus membuka ruang lebih luas bagi penyaluran kredit.
Ditemui usai rapat bersama Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta, Selasa (16/9, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, guyuran dana tersebut langsung berdampak pada dua aspek penting, yakni likuiditas dan kemampuan bank menyalurkan pinjaman.
"Rasionya antara alat likuid dengan dana pihak ketiga (AL/DPK) itu sebelumnya berada di bawah 20%, dengan adanya kemasukan dana Rp200 triliun ini sekarang sudah berada di atas 20%, dan memang 20 % itu threshold yang baik untuk mengukur likuiditas dalam AL/DPK," ujarnya.
Selain itu, penempatan dana pemerintah itu juga memperbaiki rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) perbankan. Ia mengatakan, beberapa Himbara sebelumnya mencatat LDR di atas 90%, namun dengan tambahan dana pemerintah kini turun di bawah 90%.
Sebagai informasi, OJK mencatat rasio LDR keseluruhan perbankan per Juli 2025 berada di level 86,54%. Ia juga meyakini rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) bank Himbara bakal tetap terjaga.
"Ini pada gilirannya akan diserahkan kepada bank untuk menilai (penyaluran kredit) mana yang baik untuk bisa dilakukan. Nah terkait dengan itu juga, kami tadi mohon arahan kepada pak menteri keuangan soal sektor-sektor prioritas yang sekiranya diharapkan pemerintah menjadi salah satu kemungkinan dari (prioritas) penyaluran kredit," kata Mahendra.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa meyakini, penempatan dana dari saldo anggaran lebih (SAL) itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lewat likuiditas sistem keuangan.
Ia bercerita dari pengalaman sebelumnya, kebijakan serupa mampu menggerakkan kredit sekaligus menjaga keseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran.
"Jadi saya pikir sih ketika uang bertambah ke sistem, dua sisi akan bergerak. Yang pertama sebenarnya likuiditas bertambah kan. Itu otomatis pelan-pelan bunga di pasar akan turun. Yang tadinya orang naruh uang di bank senang, karena bunganya tinggi pasti akan turun karena banknya juga kelebihan duit kan," terang Purbaya.
Sekadar mengingatkan, penempatan dana pemerintah tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 12 September 2025. Dana tersebut ditempatkan pada lima bank mitra, yakni BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp10 triliun.
Permintaan Kredit
Sebelumnya, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyoroti pentingnya solusi untuk meningkatkan permintaan kredit. Hal ini penting agar kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank anggota Himbara berjalan efektif.
“Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan tidak akan membantu,” kata Wijayanto, di Jakarta, Senin.
Sebagaimana diketahui, terjadi perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi belakangan ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penyaluran kredit nasional tetap tumbuh pada Juli 2025 sebesar 7,03% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Namun, pertumbuhan tersebut melambat dari 7,77% pada Juni, sekaligus menjadi laju paling rendah sejak Maret 2022.
Perlambatan itu turut mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat, serta meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit. Di sisi lain, undisbursed loan atau kredit yang belum terealisasi justru naik 9,52%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu sebesar 6,89%.
Nah, dengan menempatkan Rp200 triliun di bank komersial, dana ini diharapkan dapat diakses untuk pembiayaan kredit di sektor produktif. Wijayanto pun menyarankan, penyaluran dana pemerintah itu sebaiknya difokuskan pada sektor-sektor yang terbukti mampu mendorong perekonomian.
“Dana Rp200 triliun sebaiknya untuk mendanai sektor-sektor yang sudah teruji menciptakan lapangan kerja dan (meningkatkan) daya beli,” imbuhnya.
Meski demikian, dirinya memandang kebijakan tersebut tetap tidak bisa berdiri sendiri. "Kebijakan ini tidak bisa berjalan sendiri, harus diikuti dengan perbaikan iklim usaha dan perbaikan daya beli. Jika berjalan sendiri, kebijakan ini justru akan membebani sektor perbankan dengan risiko yang tidak perlu," ujarnya.
Di samping itu, penarikan Rp200 triliun dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia juga bisa berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah.
"Menarik Rp200 triliun dari SAL di BI, mengurangi outstanding SAL menjadi Rp250 triliun. Jika kondisi fiskal terus memburuk di 2025 dan 2026; ia tidak akan memadai untuk memberi talangan bagi belanja APBN saat penerimaan pajak terlambat masuk," pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar